Langsung ke konten utama

Pilkada DKI, Batu Loncatan Ormas Intoleran Wujudkan NKRI Bersyariah


Ada dua hal yang sesungguhnya membuat Pilkada DKI kali ini terasa sangat gaduh. Pertama, kemunculan Ahok. Kedua, hidden agenda yang sedang dipersiapkan ormas-ormas radikal intoleran untuk mewujudkan NKRI bersyariah. Kedua alasan ini sangat berkaitan erat, sehingga gaung Pilkada DKI sudah terasa jauh-jauh hari. Maka tidak berlebihan jika sebagian kalangan menyebut Pilkada DKI berasa Pilpres. Pemilihan kepada daerah, namun berasa seperti pemilihan Presiden.

Ahok memang fenomenal. Berasal dari etnis minoritas dan berkeyakinan minoritas membuat dirinya menjadi sasaran ormas-ormas intoleran yang selalu mengklaim mewakili suara mayoritas. Lupakan sejenak tuduhan kasus penistaan agama yang dialamatkan kepadanya. Jika tidak tersangkut kasus itu pun, sosok Ahok akan ditolak ormas-ormas tersebut. Ada atau tidak ada kasus itu, di mata mereka Ahok adalah batu sandungan untuk mewujudkan cita-cita mereka.

Namun, mereka sesungguhnya iri. Mengapa sosok seperti Ahok tidak pernah muncul dalam kelompok mereka, mengapa sosok Ahok sulit ditemukan dalam umat ? Maka benarlah pernyataan Buya Syafii Maarif bahwa kehadiran sosok Ahok cukup mengejutkan :

“Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol Islam melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita bisa menang. Saya tidak membela Ahok, energi bangsa terkuras habis. Anda Harus mampu membaca masalah ini secara jernih, tidak dengan emosi. Selamat berfikir.”

Sosok Ahok yang tegas, tanpa tedeng aling-aling, progresif, anti korupsi jujur bisa dibilang langka. Dia adalah anomali manusia Indonesia. Kesulitan mencari sosok Ahok mungkin bisa dibandingkan dengan kesulitan mencari 11 orang pemain sepakbola handal di antara 250 juta lebih manusia Indonesia. Ibarat pepatah, “mencari jarum dalam tumpukkan jerami” adalah fenomena Ahok belakangan ini.

Soal yang kedua adalah cita-cita mewujudkan NKRI bersyariah. Ini adalah lagu lama, tapi mereka masih bernostalgia untuk merealisasikannya. Tidak seperti tokoh-tokoh Islam senior di awal kemerdekaan yang legowo menerima Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, mereka tetap kekeuh hendak memerjuangkan tegaknya syariat Islam di negeri ini. Apakah salah ? Ya, salah karena Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sudah merupakan kesepakatan bersama. Keempatnya merupakan pilar berbangsa. Merobohkannya berarti merusak pilar-pilar tegaknya bangsa ini.

Lagipula, apalagi yang hendak mereka cari ? Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) Bidang Fatwa dan Imam Besar Masjid Istiqlal, yakni Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA  (alm) pernah mengatakan “Indonesia sudah memenuhi persyaratan sebagai negara Islam”. Hal itu beliau sampaikan dalam rapat persiapan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU (Munas dan Konbes NU 14-17 September 2012) (madinatuliman.com).

Di hadapan sedikitnya lima puluh kiai, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sekaligus Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah tersebut menjelaskan bahwa negara Islam itu setidaknya harus memiliki empat aspek; aspek ubudiyah, mu’amalah, munakahah, dan jinayah. Keempatnya menjadi indikator bagi negara Islam. Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai negara islam, karena Indonesia sudah didukung oleh aspek-aspek tersebut, imbuh Guru Besar Ilmu Hadits Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta tersebut. .

Jadi, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh ormas-ormas radikal tersebut ? Aksi-aksi mereka mengingatkan kita pada masa lalu, ketika sekelompok orang ingin memaksakan kehendaknya untuk merubah dasar negara ini. Upaya paling ekstrem yang pernah mereka lakukan adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Sebuah pemberontakan yang berlangsung cukup lama dan mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh daerah. Untungnya, pemerintahan pada waktu itu cukup solid, sehingga DI/TII bisa dihancurkan.

Mengingat trauma itu, maka mereka tidak mungkin menempuh pemberontakan terbuka seperti dilakukan pendahulu-pendahulunya. Mereka berusaha secara konstitusional, secara perlahan membentuk opini di tengah-tengah publik. Mereka mengikuti cara-cara demokrasi yang sesungguhnya mereka kutuki itu. Mereka mencoba memberikan warna dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah Pilkada DKI yang sedang berlangsung. Pilkada ini tentu saja lebih bergengsi dibanding dengan pilkada-pilkada lainnya. Oleh karenanya, Pilkada DKI menjadi medan pertarungan, dan perebutan pengaruh dan batu loncatan. Dan di sinilah, posisi Ahok jelas-jelas menjadi batu sandungan untuk mencapai cita-cita mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1.362 MW Pembangkit dari Proyek 35.000 MW Sudah Beroperasi

Program 35.000 Mega Watt (MW) yang dicanangkan oleh pemerintah terus menunjukkan perkembangan. Hingga 1 Februari 2018, tercatat pembangkit listik yang telah beroperasi adalah sebesar 1.362 MW dan yang sedang tahap konstruksi sebesar 17.116 MW. "Peningkatan ini tak lepas dari kontribusi pembangkit listrik PLN maupun Independent Power Producer (IPP)," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/3/2018). Baca juga:  Bagaimana Progres 35.000 MW Jokowi? Ini Penjelasan PLN Sejauh ini, sebesar 896 MW dari total 1.362 MW yang beroperasi dihasilkan dari IPP, sementara 466 MW dibangun oleh PT PLN (Persero). Pembangkit yang beroperasi tersebar di wilayah Sulawesi dengan total 538 MW, disusul Sumatera 455 MW, Maluku dan Papua 135 MW, Kalimantan 126 MW, sedangkan sisanya tersebar di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 108 MW. Lebih lanjut, Agung menambahkan saat ini sebany...

Fenomena Kaum SCBD (Sesapian-Cingkrangan-Bumi Datar)

By Apriadi Rizal Jadi gini, SCBD yang ini bukanlah Sudirman Central Business District yaitu kawasan terkenal dan mewah ditengah jantung ibukota. SCBD disini adalah mereka yang sangat mengharubirukan dunia Indonesia. Mereka adalah kaum yang selalu komen nyinyir kepada pemerintah yang sedang sibuk membangun negeri.  Mereka jugalah yang setiap hari membuat keonaran dengan alasan agama. You know lah! Cikidap, cikidap youw. (Habis goyang dengan lagu hip-hop) Jujur saya sendiri kurang tahu jelasnya mengenai sejarah tentang frase sesapian, cingkrangan, dan kaum bumi datar. Kapan mulai malang melintang didunia permediaan Indonesia. Kalau ada pembaca atau penulis lain yang bisa merangkumnya, akan sangat keren sekali. Karena akan menjadi salah satu bacaan yang sangat berguna bagi sejarah bangsa ini. Kenapa berguna? Pastinya menjadi rujukan kepada siapa saja manusia yang ingin maju. Rujukan untuk apa? Pastinya rujukan u...

TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Oleh: H. Agus (Jurnalis/Pemerhati Masalah Sosial Budaya dari Dompu, NTB) ================== Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat antar umat beragama yang rukun. Istilah lainnya adalah "Tri kerukunan". Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat. Perbedaan atau kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Pemerintah sendiri telah menyadari resistensi ko...