Langsung ke konten utama

Cuci Otak Ala Spanduk

Sumber: https://portaldunia.com/fuis-ajak-umat-islam-pasang-baliho-dukungan-habib-rizieq-bela-ulama-dari-kriminalisasi.html
Sudah beberapa tahun ini kita disajikan berbagai macam spanduk berisikan pesan-pesan provokasi. Di banyak tempat di Jakarta, spanduk-spanduk yang berisi seolah-olah pesan keagamaan, menjadi pemandangan sehari-hari di kompleks perumahan, dekat masjid, dekat gereja atau di jalan-jalan. Tidak bisa dipungkiri, pesan-pesan tersebut membawa-bawa agama tertentu. Seringkali, pesan provokasi tersebut dibungkus dengan bahasa yang lebih halus dan dengan pintarnya, menggunakan jargon-jargon nasionalisme.

Bukan tidak sedikit orang di awal-awal spanduk-spanduk itu naik menjadi risih, terganggu, dan malu. Bayangkan kalau pesan-pesan itu dibaca client dari luar negeri, atau kawan kita tahu agama kitalah yang membawa pesan itu. Rasanya agak risih juga untuk orang-orang yang mengaku ‘waras’. Meskipun dengan berusaha santai akan berkata, “Agamaku tidak seperti itu. Itu sih garis keras. Heran juga dengan orang-orang itu, kok ada banyak ya pengikutnya?”.

Membaca pesan-pesan provokasi di spanduk-spanduk itu tidak bisa merubah mindset saat itu juga, atau seminggu kemudian, atau sebulan kemudian. Itu adalah pesan softsell atau pesan jangka panjang. Pesan itu tidak diharapkan dimengerti untuk saat ini. Namun dengan berjalannya waktu, pesan itu akan tertanam secara perlahan di benak kita dan kita menjadi terbiasa dengan pesan-pesan provokasi tersebut, kemudian secara tidak sadar, kita ikut menyetujuinya.

Di awal-awal melihat pesan-pesan tersebut, seperti kebanyakan orang waras lainnya, mereka mengira, takkan ada seorang pun yang akan terpengaruh atas pesan-pesan provokasi tersebut. Mereka melihat, melewati, melupakan. Kadang-kadang berusaha meng-upload nya di media sosial sebagai bagian dari tanggungjawab sosial. Beberapa orang akan bereaksi, komen, akhirnya kembali melupakan.
 
Dalam dunia pemasaran, ada yang disebut dengan softsell dan hardsell. Pada pesan hardsell diharapkan bisa memberikan reaksi spontan. Seperti misalnya, “Beli satu dapat satu”, “Diskon 50%”, atau “Harga naik minggu depan”. Melalui pesan-pesan tersebut, kita diharapkan untuk langsung melakukan tindakan, karena kalau terlambat, tidak akan kebagian. Call to action-nya sangat kuat. Biasanya menggunakan kata-kata: “Beli Sekarang”, “Hanya Hari Ini”, dan sebagainya. Namun berbeda dengan pesan softsell. Pesan softsell sangat halus dan berumur sangat panjang. Contohnya adalah produk Aqua. Sangat lama Aqua mendidik konsumennya akan air sehat yang praktis setiap saat. Puluhan tahun dihabiskan Aqua untuk memasukkan pesan-pesan tersebut. Hari ini bisa kita lihat hasilnya. Setiap kali kita beli air mineral, kita pasti bilang : Ada Aqua? Padahal yang diberikan ke kita adalah merk lain. Itulah contoh kekuatan pesan softsell. Pesan softsell tertanam sangat dalam di benak kita dan menjadi bagian dari keseharian kita.

Hal ini berlaku juga untuk spanduk-spanduk berisi pesan provokasi. Contoh pesan spanduk seperti Tolak Kriminalisasi Ulama dan sejenisnya adalah spanduk-spanduk yang biasa kita lihat di sekitar jalan-jalan masuk perumahan kelas menengah ke bawah. Pesan-pesan itu hampir kita bisa temui di ujung-ujung gang atau jalan raya ke rumah-rumah penduduk. Siapa yang paling banyak menghabiskan waktu di kompleks perumahan tersebut? Anak-anak dan remaja. Mereka adalah generasi yang disasar.

Spanduk provokasi berisi pesan-pesan provokasi tidak diharapkan untuk memberikan reaksi instant dari orang-orang yang melihatnya. Tapi itu adalah pesan jangka panjang. Dengan melihat pesan-pesan provokasi tersebut setiap hari, kita akan terbiasa dengan pesan-pesan berisi kata-kata kasar dan provokasi. Mula-mula kita menganggap kata-kata itu keterlaluan, tapi setelah melihatnya sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali, kita akan terbiasa. Kita menjadi imune. Secara tidak langsung, sangat perlahan, tapi pasti, pesan tersebut tertanam dalam pikiran kita, dalam benak kita. Sekali, sepuluh kali, dua puluh kali, kita tidak merasakannya. Namun, setelah sekian puluh kali melihat pesan tersebut, kita jadi menganggap, barangkali pesan tersebut benar adanya. Barangkali, kita bisa pertimbangkan kebenarannya. Barangkali, cuma kita yang terganggu. Buktinya, spanduk-spanduk provokasi itu aman-aman saja di tempat itu, bahkan semakin banyak di tempat-tempat lain.

Jangan menganggap remeh keberadaan spanduk-spanduk provokasi. Banyak anak-anak, banyak remaja, banyak pemuda-pemudi yang baru tumbuh, jadi terbiasa dengan pesan-pesan terrsebut. Mereka tumbuh dengan pesan-pesan provokasi tersebut, dan lama-lama mereka akan menganggap pesan-pesan tersebut adalah hal yang normal. Pesan-pesan provokasi itu adalah bagian dari bentuk cuci otak jangka panjang.

Akhir-akhir ini kita melihat bahwa regenerasi di ormas-ormas radikal adalah anak-anak muda usia menjelang dua puluhan. Mereka tumbuh karena terbiasa dengan ujaran-ujaran kebencian. Mereka telah menganggap bahwa ujaran-ujaran tersebut adalah hal yang lumrah.

Ini adalah perang softsell. Siapa pun aktor di balik pesan-pesan provokasi itu adalah seorang yang jenius. Ia seorang yang sangat sabar. Ia seorang pemain yang tenang dan tidak terburu-buru. Ia tahu, suatu hari nanti, akan lahir generasi baru yang mudah digerakkan untuk kepentingannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1.362 MW Pembangkit dari Proyek 35.000 MW Sudah Beroperasi

Program 35.000 Mega Watt (MW) yang dicanangkan oleh pemerintah terus menunjukkan perkembangan. Hingga 1 Februari 2018, tercatat pembangkit listik yang telah beroperasi adalah sebesar 1.362 MW dan yang sedang tahap konstruksi sebesar 17.116 MW. "Peningkatan ini tak lepas dari kontribusi pembangkit listrik PLN maupun Independent Power Producer (IPP)," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/3/2018). Baca juga:  Bagaimana Progres 35.000 MW Jokowi? Ini Penjelasan PLN Sejauh ini, sebesar 896 MW dari total 1.362 MW yang beroperasi dihasilkan dari IPP, sementara 466 MW dibangun oleh PT PLN (Persero). Pembangkit yang beroperasi tersebar di wilayah Sulawesi dengan total 538 MW, disusul Sumatera 455 MW, Maluku dan Papua 135 MW, Kalimantan 126 MW, sedangkan sisanya tersebar di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 108 MW. Lebih lanjut, Agung menambahkan saat ini sebany...

Fenomena Kaum SCBD (Sesapian-Cingkrangan-Bumi Datar)

By Apriadi Rizal Jadi gini, SCBD yang ini bukanlah Sudirman Central Business District yaitu kawasan terkenal dan mewah ditengah jantung ibukota. SCBD disini adalah mereka yang sangat mengharubirukan dunia Indonesia. Mereka adalah kaum yang selalu komen nyinyir kepada pemerintah yang sedang sibuk membangun negeri.  Mereka jugalah yang setiap hari membuat keonaran dengan alasan agama. You know lah! Cikidap, cikidap youw. (Habis goyang dengan lagu hip-hop) Jujur saya sendiri kurang tahu jelasnya mengenai sejarah tentang frase sesapian, cingkrangan, dan kaum bumi datar. Kapan mulai malang melintang didunia permediaan Indonesia. Kalau ada pembaca atau penulis lain yang bisa merangkumnya, akan sangat keren sekali. Karena akan menjadi salah satu bacaan yang sangat berguna bagi sejarah bangsa ini. Kenapa berguna? Pastinya menjadi rujukan kepada siapa saja manusia yang ingin maju. Rujukan untuk apa? Pastinya rujukan u...

TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Oleh: H. Agus (Jurnalis/Pemerhati Masalah Sosial Budaya dari Dompu, NTB) ================== Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat antar umat beragama yang rukun. Istilah lainnya adalah "Tri kerukunan". Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat. Perbedaan atau kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Pemerintah sendiri telah menyadari resistensi ko...