Nampaknya, setidaknya dua pekan ini
wacana di negeri kita akan dihiasi tentang kunjungan Raja Salman ke
Indonesia, dengan berbagai sudut dan pernik. Kunjungannya sendiri selama
9 hari, yakni dari tanggal 1-9 Maret 2017. Ditambah dengan beberapa
hari sebelum dan sesudahnya, bahasan mengenai kunjungan bersejarah ini
masih menarik diulas. Sekalipun ada banyak tema lain yang menarik dan
seksi, namun tema ini juga sayang untuk dilewatkan, mumpung ada
konteksnya.
Sejak kabar akan datangnya Raja Salman dan
1500 rombongan besarnya ke Indonesia beberapa hari sebelum Hari H
hingga tanggal 3 Maret, saya masih belum berencana menulis. Barulah
setelah kunjungan tiga harinya di Jakarta selesai, di mana hal-hal
penting berkaitan dengan pembicaraan dan tugas-tugas kenegaraan
berakhir, saya ingin ikut nimbrung meninggalkan catatan tentang ini.
Adapun rombongan mewah itu, sekarang
silahkan mereka menikmati liburan di Pulau Dewata Bali. Semoga mereka
sudah cukup tahu, bahwa Indonesia bukan hanya Bali. Dan keindahan Bali
hanya sedikit saja dari sejuta pesona Indonesia yang tidak ada di negeri
padang pasir. Jadi, kalau mau menikmati dan mengerti Indonesia, sangat
banyak destinasi yang menggoda. Orang-orang kebanyakan seperti saya
tidak mempunyai cukup biaya untuk bisa menikmati ragam destinasi itu,
tapi bagi mereka mudah saja. Tinggal maunya. Beda dengan orang-orang
seperti saya, bahkan Bali pun baru bisa sekadar dilihat di media atau
didengar saja.
Mengenai kunjungan Raja Saudi saat ini,
saya melihat bahwa bangsa Indonesia setidaknya telah terbagi menjadi
tiga bagian. Mereka ada, dan bisa kita dengar, lihat atau saksikan.
Komentar dan pendapat mereka di medsos bisa kita tangkap dan pahami, dan
sekaligus mencerminkan siapa mereka.
Kelompok yang pertama, saya sebut sebagai
para pemuja Salman. Mereka adalah kalangan yang di medsos atau obrolan
langsung, banyak menulis, membagikan atau menceritakan berita sanjungan
yang aneh-aneh dan irasional. Misalnya mereka menyebut bahwa Raja Salman
datang ke Indonesia untuk menolong umat Islam di Indonesia yang sedang
dizalimi oleh pemerintah. Mereka berpikir bahwa pemerintahan Jokowi
bertindak sewenang-wenang kepada umat Islam (tentu saja ini pendapat
yang ngawur), sehingga Salman datang ke sini untuk “menekan” Jokowi
menghentikan kezaliman (dalam bayangan mereka). Kalangan ini sampai ada
yang bilang, bahwa Raja Salman lebih tahu kondisi umat Islam di
Indonesia ketimbang umat Islam di Indonesia sendiri (coba simak, apa
pikiran ini tidak aneh?)
Kalangan ini
juga ada yang menyebut bahwa Raja Saudi datang ke sini untuk
membebaskan Indonesia dari beban utang kepada Cina. Kata mereka, Raja
datang membawa uang sangat banyak untuk membantu Indonesia membayar
utang-utangnya kepada Tiongkok yang komunis, tanpa bunga dan tanpa
syarat ini-itu. Berbeda dengan Cina, di mana Cina datang ke Indonesia
dengan syarat ini itu dan lain sebagainya.
Pikiran ini jelas saja irasional, ilusif,
tidak berdasar, dan bikin orang tertawa. Dari mana ceritanya sampai
begitu. Lha, Saudi datang ke sini mau berinvestasi kok, ya tentu saja
tanpa bunga, tapi nanti ia akan mendapatkan untung dari hasil investasi
(istitsmar) itu. Namanya juga bisnis. Negara-negara lain yang
berinvestasi, ya sama begitu juga. Bunga hanya ada dalam transaksi
pinjaman. Peran Cina dalam proyek Speed Train Jakarta-Bandung senilai
puluhan trilyun itu, bersifat investasi, bukan pinjaman. Jadi sama saja
dengan rencana Saudi yang sekarang hendak berinvestasi.
Lagian, dalam kondisi saat ini, Saudi mau
“membantu” negara-negara lain, kalau bukan karena landasan bisnis,
bagaimana bisa. Seperti kita tahu, Saudi sekarang sedang kesulitan
cashflow, sampai pada tahun 2016 yang lalu meminjam uang ratusan milyar
dolar untuk menutupi APBN-nya. Apalagi banyak analisa yang menyebutkan
bahwa Raja melakukan roadshow ke berbagai negara Asia Tenggara dan Timur
sekarang adalah dalam rangka menawarkan divestasi 5 % saham Saudi
Aramco.
Yang tidak
kalah menggelikan, kalangan ini bahkan ada yang berilusi bahwa Raja mau
menemui Imam Besar dari sebuah ormas berlabel Islam. Kabarnya Imam Besar
ini diundang oleh DPR untuk turut mendengar pidato Salman di gedung
DPR. Namun kabarnya tidak jadi datang, entah apa alasannya. Bahkan dalam
pertemuan khusus Salman dengan para pimpinan ormas-ormas Islam pun,
nama Imam Besar itu tidak termasuk dalam undangan.
Kalangan
pertama ini juga menganggap Saudi dan rajanya sebagai representasi
Islam. Alasan yang paling mudah mereka pahami adalah jelas karena raja
ini orang Arab yang menguasai sebagian negeri Arab yang ada Tanah
Haramnya, Mekkah dan Madinah, negeri yang ada Baitullah-nya. Sedangkan
kerajaan sendiri menyebut dirinya sebagai pelayan Dua Tanah Haram,
Khadim al-Haramayn, yang mengurus dan mengelola ibadah haji umat Islam
seluruh dunia.
Kedua, kebalikan dari kelompok yang
pertama, mereka melihat Raja Salman dan kerajaannya dalam perspektif
yang memperlihatkan semuanya buruk, bahkan sangat buruk. Ini sebagai
akibat dari kebijakan dan tindakan yang telah Saudi lakukan, baik di
kawasan Timur Tengah maupun lebih jauh lagi. Misalnya karena dukungan
Saudi pada ISIS dan para pemberontak Suriah serta ikut intervensi
terhadap kedaulatan Suriah hingga Suriah kini porak poranda, agresi
kepada Yaman yang sekarang masih berlangsung, “permusuhannya” terhadap
Iran, sikapnya terhadap Israel, dan lain sebagainya. Termasuk bagaimana
Saudi memperlakukan Tanah Haram yang dianggap justru merusak kesucian
dan telah menghancurkan sejarah agungnya.
Bagi kalangan yang kedua ini, Raja Saudi
dan pemerintahannya bukanlah Khadim al-Haramayn (Pelayan Dua Tanah
Haram). Melainkan sebagai Hadim al-Haramayn, Penghancur Dua Tanah Haram.
Mengapa disebut demikian, karena rezim Saudi telah menghancurkan banyak
peninggalan sejarah Islam yang berkaitan dengan Nabi Saw serta para
sahabat dan orang-orang dekat beliau. Banyak peninggalan Islam yang
dirobohkan pemerintahan Saudi, dan diganti dengan bangunan-bangunan
megah dan mewah. Bagi kalangan ini, Kerajaan Saudi telah menghancurkan
banyak peninggalan bersejarah Islam, kemudian membangun istana-istana
raja dan para pangeran.
Kalangan ini juga menyebutkan bahwa
Kerajaan Saudi bukanlah representasi dari Islam, apalagi Islam yang
dibawakan oleh Nabi. Yang ada adalah, pemerintahan ini telah
membid’ah-bid’ahkan banyak ajaran Islam, baik langsung maupun melalui
pihak lain di negara-negara lain. Sebagai Kerajaan yang berpaham
Wahhabi, pemerintahan Saudi telah banyak melalukan berbagai kebijakan di
Tanah Suci yang sebenarnya ditentang oleh umat Islam lain dari kalangan
Ahlussunnah Waljamaah dan Syiah.
Pernah santer kabar bahwa pihak kerajaan
hendak memindahkan Makam Mulia Nabi Saw dari tempatnya sekarang. Di
Indonesia, yang santer menentang rencana ini adalah NU. Sekalipun kabar
isu ini kemudian hilang, namun kekhawatiran umat Islam dunia terhadap
tindakan Saudi yang berkaitan dengan sejarah Islam tetap sangat
beralasan. Karena sebelumnya kerajaan juga telah menghilangkan
jejak-jejak sejarah dan peninggalan penting Islam lainnya. Dan memang
sudah seharusnya umat Islam sedunia memperhatikan kebijakan-kebjijakan
Saudi di Tanah Suci ini.
Puluhan tahun yang lalu, pasca sukses
besar revolusi tanpa darah di Iran, Imam Khomeini Pemimpin Besar Iran
pernah mewacanakan agar Tanah Haram dikelola oleh otoritas umat Islam
Dunia, dan bukan oleh sebuah negara tertentu. Di antara tujuannya adalah
agar semua kepentingan Dunia Islam diakomodasi dalam kebijakan Tanah
Suci, dan memberikan dampak positif yang meluas bagi umat Islam seluruh
dunia.
Tanah Suci peninggalan Nabi adalah milik
umat Islam seluruh dunia. Karenanya ia mesti dikelola oleh umat Islam
seluruh dunia juga. Teknisnya bisa dikelola oleh organisasi semacam OKI
atau otoritas lain yang disepakati umat Islam dunia. Di antara pemimpin
Muslim dunia yang menyetujui gagasan ini adalah Muammar Khadafi,
Presiden Libya yang digulingkan AS beberapa tahun lalu.
Selain itu, gaya hidup mewah yang
diperlihatkan keluarga kerajaan juga menjadi alasan lain yang
mempertanyakan apakah pantas mereka merepresentasikan Islam. Belum lagi
kita mendengar kabar-kabar tentang kehidupan para pangeran dan putri
kerajaan di luar sana.
Kalangan ketiga, adalah kalangan yang
mencoba melihat kunjungan Salman ke Indonesia ini dengan kacamata
realistis dan pragmatis. Karena Raja Saudi ini datang dengan tujuan
bisnis dan politis, maka kunjungannya juga mesti dilihat dari kacamata
bisnis dan politis. Pandangan inilah yang saya lihat menjadi pegangan
Pemerintahan Joko Widodo. Karenanya kita lihat, bagaimana pemerintah
menandatangani banyak MOU dengan Saudi. Setidaknya ada 11 MOU yang
ditandatangani oleh Saudi di Indonesia. Untuk cara pandang yang terakhir
ini, insyallah akan saya tuliskan dalam artikel lain, dengan judul
“Salman Datang, Jokowi Menang. Saudi Berkunjung, Indonesia Untung.”
Silakan mampir lagi.
Dan cara pandang ketiga inilah yang
merupakan cara Jokowi memaknai kunjungan bersejarah Raja Salman. Sebagai
presiden yang sudah mendapat banyak informasi, tentunya Pak Jokowi
cukup mengerti dua cara pandang sebelumnya yang beredar di masyarakat.
Namun sebagai presiden yang memiliki visi dan program yang jelas, dengan
slogan kerja kerja kerja, cara pandang realistis dan pragmatis itulah
yang seharusnya Indonesia ambil dalam melihat kunjungan Raja Salman.
Inilah ala Jokowi…
Komentar
Posting Komentar