Saya bukan ngomong asbak (asal jeplak, eh asal tebak) kawan, apalagi nge-hoax. Istighfar…istighfar, astaghfirullah. Jangan takbir mulu ah, yang di-mainstream-in, entar kalo ngedemo lagi ya! (itupun kalau dapet izin dari Pak Polisi). Kata ustaz saya, hoax adalah fitnah yang dibungkus dengan kebohongan. Atau bisa juga, kebohongan dalam bentuk penyebaran berita tidak benar yang disampul dengan kepalsuan itu yang dinamakan hoax. Kira-kira mana yang lebih tepat definisinya atau kedua-duanya dirasa sreg, silahkan bisa Anda pilih! Lagian sama aja artinya, hanya sengaja dibolak-balik aja.
Hoax itu dosanya sangat besar dan siap-siap aja jadi bahan bakar api neraka, masih kata ustaz saya. Dan jangan coba-coba beranggapan ada hoax hasanah! (berita bohong yang baik). Dakwah yang menghalalkan segala cara, baik itu cara keji, kejam dan jahat kejerlaluan (maaf kebawa-bawa huruf “j”-nya) adalah dakwahnya para kaum bigot/bughot. Istilah bigot ini disematkan bagi orang-orang yang suka menggadang-gadangkan Islamophobia atau Christianophobia, dlsb. Di antaranya seperti Al-Qaeda, ISIS, Boko Haram, Abu Sayyaf, …..
Bekti main ke rumah topik a.k.a back to main topic!
Informasi itu (paragraf 1), pertama kali saya dapatkan dari media WA Chat (whatsapp chatting) ayah saya. Papih (bukan pepo) adalah panggilan akrab ayah kandung saya. Beliau memang suka sharing artikel-artikel yang berkelas dan inspiratif untuk menambah nutrisi otak. Kali ini, artikel yang dikirim hari Selasa, 7 Februari 2017, pukul 10.07 WIB adalah referensi gagasan tulisan ini tercipta.
Artikel tersebut dibuat oleh seorang profesor. Meski nama profesornya masih terdengar asing namun tulisan dalam artikel pendek itu menggelitik aura kepenulisanku yang masih amatir ini. Rasanya greget aja bila tidak saya jadikan sebuah tulisan. Hal itu pula yang menjadi respon WA Chat saya terhadap kiriman artikel berkelas yang bejumlah 167 kata dari papih. Diawali dengan sentuhan 2 emoji jempol berwarna sawo matang, lalu saya tulis, “Cocok pap. Bagus nih buat ide tulisan” adalah jawaban saya saat membalas WA Chat-nya papih, kala itu.
Anda penasaran? Saya juga. Sebelumnya mari kita biasakan merubah kata “analisa” yah! Kadang sering banget tulisan bertebaran menggunakan kata atau kalimat yang terselip kata tersebut. Termasuk saya sendiri. Jadi rancu loh. Seharusnya, mari kita analisis! (lih: KBBI/Kamus Besar Bahasa Indonesia) Dengan gaya penganalisisannya wong awam yang sudah siuman dan senang menambah wawasan biar cerdas (meski sudah mentok sih! hehe).
Jumlah netizen Indonesia
Setelah saya browsing, ternyata informasi bahwa netizen Indonesia sudah mencapai 50% lebih yang melek internet dari jumlah total penduduknya bukanlah isapan jempol (dari dulu sampai sekarang yang diisep jempol mulu, hebat amat yah tuh jempol, hehe). Pada tahun 2014, Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (AJPII) merilis data pengguna internet, netizen Indonesia menunjukan angka yang cukup fantastis, yakni 88 juta orang.
Kemudian, AJPII kembali membeberkan hasil survei Industri internet Indonesia di tahun 2016. Hasilnya sangat mengejutkan, di tahun itu jumlah netizen Indonesia melonjak tajam. Mereka telah mencapai angka 132,7 juta pengguna. Wow amazing! Dan rata-rata pengguna menggunakan mobile phonenya ketika berselancar di dunia maya. Data ini dikutip dari sumber berikut: http://batampos.co.id/2016/10/27/lebih-setengah-jumlah-penduduk-indonesia-sudah-melek-internet/
Kualitas netizen Indo
Sayang seribu kali sayang, realitas dibalik berita baik yang sudah terlanjur saya banggakan harus ditelan pahit-pahit. Dengan kemudahan akses dan cepatnya arus informasi yang berada di sekitar ratusan juta netizen Indonesia ini pun tak kunjung meningkatkan minat baca mereka. Sehingga disadari atau tidak, itulah mengapa kita, bangsa Indonesia sangat minim prestasi.
Kepahitan itu didasarkan dari sebuah studi penelitian “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis diapit antara Thailand (59) dengan Bostwana (61). (Kompas.com)
Apakah netizennya sepintar smartphonenya?
Ternyata, Indonesia dengan pangsa pasar penjualan smartphone terbesar ke 5 di dunia tak berpengaruh secara positif kecuali hanya jadi penduduk yang konsumtif, bukan menjadi warga yang inovatif, berliterasi tinggi dan kreatif. Maka, saya kira tak cocok bila istilah telepon seluler dinamakan smartphone di sini. Atau bila boleh saya bersajak keminggris, a smartphone doesn’t change its user to be smart, here in Indonesia. (catatan: keminggris itu istilah bahasa jawa yang berarti bergaya sok Inggris)
Belum habis rasa pahit ini hilang dalam rongga mulut, masih harus berlapang dada menerima kenestapaan prestasi besar sebagai netizen peringkat ke 5 dunia pengguna Twitter kategori tercerewet. Berdasarkan data yang dilansir oleh semiocast.com tahun 2012, yang terpampang pada gambar tabel grafik tercatat Jakarta adalah kota yang meraih juara penghargaan semu itu, Kota Paling Berisik.
Menurut Roy Simangunsong, sebagai Country Business Head Twitter Indonesia, di The Hook Restaurant Jakarta, Selasa 6 Desember 2016, yang dikutip dari m.tempo.co, Indonesia telah memproduksi 4,1 miliar tweet. Selama tahun 2016 sebanyak 77 persen netizen Indonesia meramaikan jagad media berlogo burung warna biru muda itu. Bahkan setiap hari ada pertumbuhan tweet sebesar 10 persen.
Akibat minimnya minat baca
So, tak heran kenapa masyarakat Indonesia ini mudah sekali terprovokasi. Sudah minat baca kurang, pintarnya cuman beli hape model terbaru doang, hobinya ngelike-dislike dan kecerdasannya mentok sampai batas komentator, cerewet pulak. Bahkan, yang bikin tambah ngelu, ada seorang mantan jenderal dan bekas mantan presiden selama sewindu lebih, malah kasih contoh pamer baper-baperan dengan gaya termehek-mehek di media sosial soal isu nasional yang dianggap urusan personal dirinya sendiri. Atau urusan pribadi dibawa ke ranah nasional, padahal kan sudah jadi mantan.
Bagaimana netizen Indonesia tidak bertambah lemah, lah wong sang mantan gak kasih suri tauladan. Nasib…nasib negeriku. Untung pemerintah kita tangguh dan jantan. Alhamdulillah masih selamet.
Inilah artikel pendek yang saya dapat dari papih (bukan pepo):
Prof. Mukhaer Pakkana: Manusia Indonesia “Gagah di Dunia Maya, Gagal di Dunia Nyata”
Saya terkesima membaca paparan Unesco (2012), bhwa minat baca org Indonesia indeksnya hy 0,001 atau menduduki urutan ke 60 dari 61 atau di atas dikit dari Botswana. Artinya, tingkat literasi atau minat baca org Indonesia sangatlah rendah.
Kontras dgn itu, 52,5% warga Indonesia sudah melek internet, atau 132 juta dari keseluruhan jumlah penduduknya sudah menjadi pengguna internet. Dan lebih 60 jt penduduknya punya smartphone, negara ke 5 terbanyak di dunia dlm kepemilikan smartphone. Pertanyaannya, apakah pemiliknya jg smart?
Menurut Karlina Supeli, Indonesia nomor 5 paling cerewet di dunia. Bahkan, Jakarta adalah kota paling cerewet. 5 twit perdetik.. Bayangkan tidak suka baca, tapi supercerewet?
Apa hasilnya sekarang? Berita ujaran kebencian tumbuh subur, hoax berserak tanpa tabayyun, caci-makian berlipat ganda, sumbu pendek bertebar, dst..dst. Maka, jadilah sosok yang “gagah” di dunia maya, gagal di dunia nyata. Implikasinya, muncullah manusia-manusia yg tdk mau bertanggungjawab. Manusia kerdil. Entah bagaimana nasib bangsa kita ke depan jika mainstreamnya seperti ini???
Benar apa yang dikatakan papih. Hanya satu kata untuk menjawab kenyataan dari artikel di atas, “Paradox”. Fakta bahwa 50 persen lebih penduduk Indonesia sudah melek internet, berselancar di dumay dan bermedia sosial sudah sangat galib bagi 132,7 juta warga Indonesia. Indonesia yang juga menjadi negara kelima terbesar market penjualan smartphonenya ga ngefek bagi peningkatan budaya literasi bangsa yang berjajar pulau-pulaunya ini. Padahal, tinggal perintah dua jempolnya untuk sentuh dan klik dengan sangat mudah, simpel dan cepat jutaan informasi sudah dapat dibaca dari layar kaca handphonenya. Malasnya minta ampun. Giliran disuruh komen, like-dislike, cuit-cuitan, sebar-sebaran hoax sampai berebutan kayak orang kesurupan.
Itulah yang dimaksud paradoks. Pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks, seperti itu bunyi kalimat aplikasi software kamus KBBI Offline 1.5.1. yang sudah diinstal dalam komputer kerja saya.
Untuk menghibur betapa nestapanya minat baca kita, saya tampilkan sebuah video yang saya dapat dari fanspage Dunia Perpustakaan di Facebook berikut di bawah ini:
Begitulah kalau sudah siuman. Salam kecerdasan demi kemaslahatan bangsa Indonesia.
Komentar
Posting Komentar