Langsung ke konten utama

Demokrasi Ditodong Gerombolan Radikal

ilustrasi kelompok radikal

“Semua binatang diciptakan sederajat tapi beberapa binatang lebih berderajat dibanding lainnya,” kata George Orwell dalam novel Animal Farm. Kalimat dari Orwell ini sebenarnya adalah kalimat sindiran untuk umat manusia. Gembar-gembor keperbedaan tetap dalam kesetaraan, tapi pada saat yang sama diinjak dan dikepretlah kemanusiaannya sendiri.

Barangkali inilah kekurangan sistem demokrasi. Saat bendungan kebebasan itu dibuka, maka jor-joranlah kebebasan itu meluap. Orang-orang bersembunyi dibalik kalimat kerukunan dan kesetaraan, tapi sekaligus mereka juga melakukan pemerkosaan kepada kalimat-kalimat yang mereka katakan.

Sungguh terlalu! Kepribadian mereka menjadi kepribadian ganda yang penuh hipokrit.
Negara demokrasi mempersilakan warganya untuk berkumpul dan berkelompok, memperbolehkan mengeluarkan pendapat, bebas pula melakukan gerakan. Tapi di lain sisi, ada saja mereka yang tidak sejalan dengan misi pengelola negara, melakukan langkah-langkah genit dan nakal untuk mengacaukan stabilitas.

Ketika bendungan kebebasan itu dibuka, kesempatan untuk munculnya faham radikalisme menjadi terbuka pula. Karena demokrasi memegang prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak hidup, sistem ini tak bisa melakukan dar-der-dor begitu saja kepada warganya yang mengacau.

Berbeda memang dengan saat Soeharto berkuasa. Pada tahun 80an, penembak misterius atau petrus melakukan tugasnya untuk melakukan dar-der-dor kepada para pengacau, atau orang-orang yang dicurigai bertindak subversif.

Dan kata si Mbah Weber, “negara adalah satu-satunya sumber ‘hak’ menggunakan kekerasan.”
Kini, semakin menguatnya iklim demokrasi kita, adalah hal yang musykil melakukan penembakan-penembakan terhadap para pencoleng dan pembuat kacau negeri ini. Tentu saja Indonesia akan dihujat habis-habisan jika menggunakan cara ini hanya untuk meredam gerombolan kaum radikal yang tak tahu diri. Indonesia dengan Jokowi sebagai RI 1 akan berpikir berulang kali menggunakan cara Duterte.

Gerombolan radikal itu, mengerti bagaimana celah kelemahan demokrasi. Maka, mereka melakukan kaderisasi sejak dari muda, memperkuat basis ekonomi, mencari sosok pelindung di balik layar atau backing orang berpengaruh, dan yang paling penting adalah memperbanyak masa.

Bagaimana cara memperbanyak masa? Agama! Agama adalah cara paling mudah yang bisa digunakan untuk mengumpulkan orang dibawah sebuah panji keimanan yang diradikalkan. Agama mampu menembus batas-batas suku dan geografis sehingga lintas suku bisa berbaris menjadi pasukan dan perisai sekaligus.

Dengan menggunakan masa yang berlimpah, disertai dengan backing orang berpengaruh dalam sistem politik, basis ekonomi bahkan bisa dinomor sekiankan. Kekuatan masa inilah yang bisa melakukan tekanan politik dan psikologis secara sosial, untuk menunjukkan kemayoritasan yang seakan-akan tak bisa dilumpuhkan.
 
Benar-benar sebuah kekuatan yang penuh kejumawaan.

Dibarengi dengan pemahaman agama sebagai kuantitas, maka lengkaplah kekuatan masa ini nantinya. Kekuatan ini tak lagi memerlukan umat untuk berpikir dan melakukan perenungan secara kritis. Tinggal taklid saja kepada pemimpinnya.

Maka jangan pula heran jika pada sebuah masjid, tinggal khatibnya berteriak “Usir!”, maka para jama’ahnya dengan serentak meneriakkan kata itu untuk mengusir seseorang yang ditunjuk oleh jari si khatib.

Gerakan model seperti ini tak membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir jangka panjang, tapi hanya butuh orang-orang yang nekad dan berani nabrak-nabrak sembarang tembok dan sembarang penghalang demi janji kavling surgawi.

Sikap taklid dan ketidakmampuan untuk melakukan ijtihad secara personal, dikarenakan umat tidak cerdas dalam menyelami dan menjalani hidup. Maka, tugas demokrasi yang penting sebagai tulang-punggungnya adalah sebenarnya sistem pendidikan yang berkecukupan bagi warga-negaranya.

Lewat sistem pendidikan ini, warga negara diberi kesadaran akan pentingnya kebebasan yang bertanggung jawab, bukan kebebasan penuh individual (complete individual freedom), yang hanya akan mengantarkan kebebasan dalam konteks anarkisme (Kusumaatmadja, 2007:23).

Di lembaga pendidikan yang mampu negara sediakan secara cukup lintas wilayah inilah, keyakinan akan makna filosofi negara, ditanamkan secara kuat kepada warga-negaranya. Seperti yang pernah ditulis oleh Ki Mohammad Said (1979:65), manusia Indonesia itu adalah orang yang mencita-citakan terwujudnya suatu pergaulan hidup yang penuh kemesraan, rasa persatuan dan kesatuan (kolektivitas), solidaritas serta cinta kasih.

Dari pendidikan inilah, kebebasan beradab dan bukan kebebasan biadab, diajarkan dan ditanamkan agar menjadi keyakinan.

Kebebasan itu seperti garam dalam sebuah mangkok sup. Kalau sup itu tanpa garam, maka seperti nyanyian Inul Daratista, kurang enak kurang sedap karena rasanya hambar. Tapi kalau garam itu berlebihan, kacaulah perut kita jika menyantap sup itu.

Tapi para gerombolan masa radikal yang taklid ini, sayangnya tak bisa memahami hal ini. Meskipun hanya persoalan garam dalam sup saja, meskipun hanya sederhana saja. Kasihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1.362 MW Pembangkit dari Proyek 35.000 MW Sudah Beroperasi

Program 35.000 Mega Watt (MW) yang dicanangkan oleh pemerintah terus menunjukkan perkembangan. Hingga 1 Februari 2018, tercatat pembangkit listik yang telah beroperasi adalah sebesar 1.362 MW dan yang sedang tahap konstruksi sebesar 17.116 MW. "Peningkatan ini tak lepas dari kontribusi pembangkit listrik PLN maupun Independent Power Producer (IPP)," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/3/2018). Baca juga:  Bagaimana Progres 35.000 MW Jokowi? Ini Penjelasan PLN Sejauh ini, sebesar 896 MW dari total 1.362 MW yang beroperasi dihasilkan dari IPP, sementara 466 MW dibangun oleh PT PLN (Persero). Pembangkit yang beroperasi tersebar di wilayah Sulawesi dengan total 538 MW, disusul Sumatera 455 MW, Maluku dan Papua 135 MW, Kalimantan 126 MW, sedangkan sisanya tersebar di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 108 MW. Lebih lanjut, Agung menambahkan saat ini sebany...

Fenomena Kaum SCBD (Sesapian-Cingkrangan-Bumi Datar)

By Apriadi Rizal Jadi gini, SCBD yang ini bukanlah Sudirman Central Business District yaitu kawasan terkenal dan mewah ditengah jantung ibukota. SCBD disini adalah mereka yang sangat mengharubirukan dunia Indonesia. Mereka adalah kaum yang selalu komen nyinyir kepada pemerintah yang sedang sibuk membangun negeri.  Mereka jugalah yang setiap hari membuat keonaran dengan alasan agama. You know lah! Cikidap, cikidap youw. (Habis goyang dengan lagu hip-hop) Jujur saya sendiri kurang tahu jelasnya mengenai sejarah tentang frase sesapian, cingkrangan, dan kaum bumi datar. Kapan mulai malang melintang didunia permediaan Indonesia. Kalau ada pembaca atau penulis lain yang bisa merangkumnya, akan sangat keren sekali. Karena akan menjadi salah satu bacaan yang sangat berguna bagi sejarah bangsa ini. Kenapa berguna? Pastinya menjadi rujukan kepada siapa saja manusia yang ingin maju. Rujukan untuk apa? Pastinya rujukan u...

TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Oleh: H. Agus (Jurnalis/Pemerhati Masalah Sosial Budaya dari Dompu, NTB) ================== Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat antar umat beragama yang rukun. Istilah lainnya adalah "Tri kerukunan". Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat. Perbedaan atau kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Pemerintah sendiri telah menyadari resistensi ko...