Masih tingginya angka buta aksara di Indonesia yang berada di kisaran 3,56 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia, menyebabkan pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mengatasinya. Angka 3,56 persen untuk Negara Indonesia yang berpenduduk 255.461.700 (tahun 2015) ini sangat besar. Dibandingkan angka 3,56 persen kalau ini terjadi di Singapura misalnya. (sumber)
Ini juga menjadi keprihatinan nasional, masih banyak orang yang berada di sekitar kita ternyata mereka adalah buta aksara, karena hampir 4 dari 100 orang Indonesia adalah mereka yang tidak benar-benar mengenal aksara.
Ingat, bisa berbicara tidak berarti benar-benar bisa membaca, atau bahkan tidak bisa menulis.
Angka diatas adalah statistik real mengenai mereka yang benar-benar buta aksara, sedangkan kita sekarang menghadapi mereka yang melek aksara tapi malas membaca dan kecenderungan untuk membaca kebenaran berkurang.
Menelan mentah-mentah setiap berita baik tulisan maupun lisan menjadi suatu hal biasa. Hal biasa yang terus menerus dilakukan inilah yang menjadikan minat untuk menelusuri kebenarannya berkurang, cenderung malas. Tak cuma secara online, berita bohong atau hoax kini dinilai dapat disebarluaskan secara offline melalui aktivitas keagamaan, seperti mimbar khotbah keagamaan dan pengajian.
Saat ini berita hoax sudah dibuat sedemikian rupa menyerupai berita asli, dilengkapi dengan data-data yang seolah-olah itu adalah fakta. Kemunculan berita hoax ini disebabkan ada pihak-pihak ingin membuat situasi menjadi kacau dan mengambil keuntungan dari sana.
Tentu saja masih ingat dan sadar kita banyak menelan berita hoax semenjak Pilpres tahun 2014, tahun itu adalah tahun dimana banyak sekali berita bohong dan berita yang menyerang kedua pasangan calon terkuat, kandidat presiden Indonesia saat itu pasti Jokowi dan Prabowo.
Dihitung dari banyaknya hoax yang tersebar inilah yang menyebabkan perpecahan di akar rumput warga Indonesia. Bagaimana tidak, rakyat Indonesia terbagi menjadi dua kubu berseberangan, tidak ada kecap nomor dua menjadi jargon utama untuk saling menyerang antara dua kubu ini.
Dan inilah yang menyebabkan Persatuan Indonesia sebagaimana tersebut dalam Sila ketiga Pancasila seakan diindahkan, tidak memperdulikan bagaimana kerukunan yang sudah terjalin begitu lama menjadi suatu bibit perpecahan diantara kita semua.
Nah inilah yang menjadikan bibit perpecahan ini akan tumbuh subur apabila masih terpelihara dengan baik, dipupuk sana-sini, disiram dengan begitu derasnya, bahkan dikloning atau ditumbuhkan anak pohonnya hingga terus dan terus menjadi suatu kumpulan yang begitu banyak.
Ini juga yang mendorong Fanatisme Sempit begitu sangat-sangat terpelihara juga, bagaimana tidak? Seseorang yang membaca berita hoax dan membenarkannya dapat terjangkiti virus satu ini dan akan terus terpatri dalam pikirannya. Sebagaimana arti dari fanatisme sempit itu sendiri adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan secara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius.
KIta benar-benar terjebak di dalamnya, boleh mengagung-agungkan tapi mohon jangan berlebihan. Yang baik boleh tapi yang jelek jangan, mengapa demikian? Penyebaran berita positif akan menimbulkan dampak yang positif tentunya, begitu juga dengan penyebaran berita negatif atau hoax, ya pasti menimbulkan suatu yang sangat-sangat dan harus kita hindari, bibit kebencian.
Mengapa bibit kebencian? Karena ini sama saja dengan menanam pohon perpecahan. Kita ambil contoh kasus Ahok sebagai terduga penista agama, kasus ini sangat rawan untuk dibicarakan sekali lagi, apalagi antar teman misalnya (ini contoh nyata yang penulis alami sendiri), saya membahas dengan teman yang ternyata memiliki pandangan berbeda, bagaimana hasilnya? Dia akan mempertahankan bahwa Ahok itu bersalah karena dia sangat menghargai pendapat salah satu Habib, baru kemudian berbicara agamanya. Dia sangat getol mempertahankan argumennya, bahkan ada beberapa situs yang notabene situs hoax dia ajukan dalam argumennya.
Jujur, teman saya ini orangnya pendiam, sebenarnya tidak banyak omong, tapi baru diajak bicara sedikit dia ternyata terbakar habis. Dia membenci saya sekarang, karena saya dibilang tidak membela agamanya sendiri, dan mempertanyakan keimanan saya sampai mana? Saya terkejut, sangat terkejut dengan hal ini. Istilah jaman sekarang dia sudah unfriend saya dimana-mana.
Sebegitu dahsyatnya fenomena satu ini, fanatisme sempit seseorang yang berujung kepada kehilangan satu teman bisa merembet ke teman yang lain. Saya di luar Jakarta tetapi sangat terpengaruh dengan hal ini. Tidak saya sendiri, bahkan orang tua saya saja mengalaminya, Ibu saya sendiri, beliau dipanggil Umi karena sudah menunaikan ibadah haji sedangkan ayah sudah almarhum. Dipertanyakan juga haji-nya karena tidak mau ikut ke Jakarta pada aksi 212. What?
Benar, saya mempertanyakan akan hal ini, karena hanya dengan kasus yang dipelintir-pelintir bisa mempengaruhi kehidupan sosial warga yang seharusnya tidak terdampak. Bolehlah kita berbicara persatuan Indonesia, tetapi persatuan Indonesia mana yang diperbincangkan?
Satu hal lagi, Pemerintahan Jokowi saat ini tumbuh dengan terpaan angin kebencian, perpecahan, hoax dan lain sebagainya. Bahkan pemerintahan saat ini dituduh beberapa atau segelintir orang sebagai biang kebencian, perpecahan dan juga penyebar hoax atau berita bohong ini. (sumber)
Bisa diomongkan seperti ini karena pemerintah benar memiliki resource, memiliki peralatan atau sumber daya untuk menyebar hoax yang berujung perpecahan dan kebencian. Juga pernah dibahas di seword.com, silahkan baca disini.
Sebagian rakyat indonesia masih belum bisa move on dari perhelatan Pilpres 2014 lalu, masih mempertahankan eksistensi kebenaran di dalam kepala mereka sendiri tanpa menakar nalar yang benar akan suatu kesalahan atau kebenaran.
Angka statistik yang saya jabarkan diatas di awal paragraf tentu saja masih mentah, masih bisa berkembang antara berkurang atau bertambah, itu adalah gambaran riil akan bangsa ini masih belum terentas semua tuna aksara di Indonesia.
Tetapi dalam opini yang saya bentuk bukan menyalahkan semua tuna aksara sebagai biang perpecahan dan kebencian serta penyebar hoax atau berita bohong ini. Justru mereka-mereka yang berdiri dibalik semua ini adalah kaum berpendidikan, bahkan berpendidikan tinggi yang notabene terbebas dari tuna aksara ini. Yang serta merta menginginkan Indonesia terpecah belah kembali. Atau sama saja dengan kita kembali ke jaman kolonial Belanda dengan Devide et Impera-nya.
Menginginkan Indonesia terpecah dan tujuan serta keinginannya tercapai dengan sempurna yang diinginkan segelintir elite politik inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya bibit perpecahan antar rakyat Indonesia.
Bagaimana cara terbaik untuk mengatasi hal-hal seperti ini?
Meningkatkan minat baca anak-anak Indonesia sedari dini adalah contohnya, dimulai dari pemimpinnya sendiri.
“Minat baca rakyat perlu ditingkatkan,” tulis Jokowi di akun Instagram. (sumber)Pemimpin yang tidak segan untuk sekedar berhenti bertegur sapa dengan rakyatnya dan juga yang terpenting adalah membagikan buku-buku untuk dibaca bagi anak-anak Indonesia. Sebagaimana kita tahu Presiden Jokowi sangat concern dengan hal ini dengan memotivasi minat baca seseorang yakinlah dia pasti akan terbebas dari buta aksara berkelanjutan yang sangat merugikan bangsa Indonesia.
Lantas bagaimana dengan “minat baca rendah” para penyebar hoax ini? Jangan sungkan-sungkan untuk selalu mengingatkan dengan data-data yang sahih, data-data yang benar meskipun di kemudian hari mereka ini menolaknya, biarkan saja toh nantinya dia akan sadar sendiri dengan apa yang sudah dilakukannya.
Kalau mereka yang masih ngeyel artinya berpendirian teguh bahwa hoax bisa berarti kebenaran. Ya apa mau dikata, di pihak kita sudah menyatakan kebenaran tetapi mereka masih teguh dengan itu kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Takutnya kita malah kita dimusuhin, kalau main unfriend kita masih bisa pahami, kalau main fisik ya silahkan nanti Undang-Undang yang berbicara kepada mereka sendiri.
UU Hoax
Peraturan Perundangan di Indonesia mengenai penyebaran kabar bohong:
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
tentang Peraturan Hukum Pidana
Ya seperti itulah … Undang-undangnyaUndang Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 28Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
tentang Peraturan Hukum Pidana
Pasal 14
(1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun. (sumber)
Komentar
Posting Komentar