HAMPIR tak ada lagi sekat yang menghalangi ruang berinteraksi satu
dengan yang lain di dunia ini. Transformasi pola komunikasi dan
interaksi sosial sedemikian cepat seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Bagi Indonesia, lebih dari separuh penduduknya
telah memanfaatkan jaringan internet dalam aktivitas sehari-hari. Hasil
survei Data Statistik Pengguna Internet Indonesia oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet
di Indonesia pada 2016 adalah 132,7 juta pengguna atau sekitar 51,5%
dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Dari jumlah
itu, pengguna terbanyak adalah generasi muda (usia 17-34 tahun), yaitu
56,7 juta atau 42,8%. Pengguna usia 35-44 tahun sebesar 29,2%, sedangkan
pengguna paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 10%.
Paling banyak pengguna internet menggunakan perangkat mobile
(smartphone) sebesar 63,1 juta atau sekitar 47,6%.
Persentase yang besar pengguna dari kalangan anak muda mengakses internet merupakan perkembangan positif sebagai generasi melek digital (digital literate generation). Generasi masa depan bangsa turut andil mengikuti kecanggihan teknologi. Namun, ada sisi lain yang menjadi keresahan. Konten-konten internet ataupun jejaring media sosial tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan ada 814.594 situs internet berkategori negatif termasuk konten radikalisme telah diblokir dari 2010 sampai 2015. Bahkan pada 2016 saja Kemenkominfo telah memblokir 773 ribu situs. Artinya, jumlah situs yang diblokir itu hampir mencapai jumlah selama lima tahun sebelumnya. Ada juga laporan konten negatif terhadap media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Youtube.
Generasi muda yang rentan
Dua orang dari para pelaku bom Gereja Oikumene, Samarinda, (19/11/2016) masih berusia remaja, yakni umur 16 dan 17 tahun. Bahkan peran mereka sebagai pembuat bom. Secara keseluruhan data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris yang menghuni LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun). Fakta tersebut patut mendapat perhatian kita semua. Kemudahan akses, intensitas tinggi, dan proses pencarian jati diri di kalangan anak muda menjadi rentan dari pengaruh konten radikalisme yang hadir dalam internet dan jejaring media sosial. Beberapa pelaku teroris mendapatkan pengetahuan dan aksinya terinspirasi melalui internet.
Berbagai faktor yang memungkinkan generasi muda rentan terjaring radikalisme dan terorisme melalui jejaring online. Pertama, kemudahan mengakses informasi dari internet dan jejaring media sosial tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyaring informasi tersebut. Lewat internet dan media sosial, konten hoax (berita bohong) lebih masif dan fenomenal saat ini. Itu seakan berlomba dengan konten hate speech (ujaran kebencian) dalam memenuhi internet dan jejaring media sosial. Intensitas tinggi tetapi literasi yang lemah di kalangan anak muda akan menyebabkan mereka mudah terjaring dan terprovokasi oleh konten yang mereka akses. Kedua, kemahiran kelompok-kelompok teroris menyusupkan beragam propaganda mampu memikat pengguna internet dan media sosial. Mereka mampu memanfaatkan media sosial untuk menggalang, merekrut, memengaruhi, dan mengajak, terutama anak-anak remaja. Banyak anak yang masih remaja direkrut untuk ikut bergabung dengan kelompok IS yang ada di Suriah. Bahkan beberapa pelaku teroris melakukan aksi berangkat dari apa yang didapatkan dari internet.
Ketiga, krisis figur yang dapat diteladani juga turut memengaruhi kalangan generasi muda. Media TV ataupun media online hampir tak pernah lepas dari berita yang memuat figur publik dengan beragam latar belakang profesi terjerat kasus pidana atau masalah-masalah lainnya. Sangatlah sulit menemukan sosok-sosok pribadi figur publik yang mampu diteladani. Ketiga faktor tersebut hanya merupakan bagian dari berbagai faktor lain yang turut memengaruhi generasi muda terjerat ke dalam radikalisme. Bahkan dunia pendidikan tidak lepas dari pengaruh tersebut. Awal 2016 yang lalu, kita tercengang oleh temuan buku-buku mengandung unsur radikalisme yang sudah menjamah pendidikan prasekolah dasar (TK) di Depok. Begitu pula temuan data seorang siswa kelas 5 SD di Sukabumi sudah terpapar radikalisme dan terhubung dengan jejaring terorisme di Suriah. Sebelum itu, Setara Institute pernah mengungkap data pada 2015 bahwa satu dari 14 siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan IS.
Langkah efektif
Mencermati perkembangan kekinian, BNPT terus menggalang berbagai elemen bangsa untuk bersama melawan radikalisme, menggalakkan kontraradikalisasi. BNPT terus bersinergi dengan lembaga pemerintah lainnya dan berbagai media untuk menyatukan dan menyamakan persepsi dalam menghadapi ancaman tersebut.
Salah satu upaya BNPT ialah merangkul dan menggandeng generasi muda dalam memerangi radikalisme di dunia maya. BNPT sudah mengemas dan mengumpulkan sekitar 600 netizen, mulai bloger, desainer komunikasi visual, hingga ahli IT. Langkah tersebut sebagai bagian dari upaya paripurna BNPT untuk membendung dan melawan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Meski demikian, langkah BNPT bersama jaringan FKPT di daerah-daerah memerlukan kesadaran dan gerak bersama dalam menangkal arus radikalisme yang menyasar generasi muda, antara lain, pertama, generasi muda aktif dalam kegiatan-kegiatan literasi media, literasi digital baik yang diadakan BNPT maupun lembaga nonpemerintah. Tujuannya agar kalangan anak muda dapat memiliki kemampuan yang memadai dalam memilah berbagai informasi digital dan memerangi konten hoax, radikalisme, dan konten negatif lainnya. Dengan demikian, kalangan anak muda menjadi agen-agen pembaru dalam memerangi konten negatif di internet ataupun jejaring media sosial.
Radikalisme yang menyasar generasi muda hanya dapat dibendung dengan penolakan dan perlawanan dari generasi muda pula. Generasi muda kreatif, dengan bahasa dan preferensi yang sama mampu menggandeng dan merangkul yang lain untuk terhindar dari radikalisme dan terorisme. Kedua, peranan keluarga sebagai pelindung anak dari radikalisme. Orangtua harus mengetahui aktivitas anak, aktif memberikan pendampingan dan pemahaman. Proses pencarian jati diri dalam usia remaja sangat rentan oleh berbagai pengaruh dari luar. Meskipun mereka hanya di rumah, jendela dunia sangat terbuka melalui jejaring internet dan media sosial. Akses informasi ataupun interaksi komunikasi menjadi intens dengan smartphone tanpa perlu keluar rumah. Sebagai penutup, BNPT mengingatkan generasi muda untuk tidak menebar konten hate speech karena konten seperti itu dapat menjadi pemicu dan memupuk bibit kekerasan. BNPT mengajak seluruh anak muda bersatu padu menghadapi konten radikal yang berisi kekerasan dan terorisme.
Persentase yang besar pengguna dari kalangan anak muda mengakses internet merupakan perkembangan positif sebagai generasi melek digital (digital literate generation). Generasi masa depan bangsa turut andil mengikuti kecanggihan teknologi. Namun, ada sisi lain yang menjadi keresahan. Konten-konten internet ataupun jejaring media sosial tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan ada 814.594 situs internet berkategori negatif termasuk konten radikalisme telah diblokir dari 2010 sampai 2015. Bahkan pada 2016 saja Kemenkominfo telah memblokir 773 ribu situs. Artinya, jumlah situs yang diblokir itu hampir mencapai jumlah selama lima tahun sebelumnya. Ada juga laporan konten negatif terhadap media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Youtube.
Generasi muda yang rentan
Dua orang dari para pelaku bom Gereja Oikumene, Samarinda, (19/11/2016) masih berusia remaja, yakni umur 16 dan 17 tahun. Bahkan peran mereka sebagai pembuat bom. Secara keseluruhan data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris yang menghuni LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun). Fakta tersebut patut mendapat perhatian kita semua. Kemudahan akses, intensitas tinggi, dan proses pencarian jati diri di kalangan anak muda menjadi rentan dari pengaruh konten radikalisme yang hadir dalam internet dan jejaring media sosial. Beberapa pelaku teroris mendapatkan pengetahuan dan aksinya terinspirasi melalui internet.
Berbagai faktor yang memungkinkan generasi muda rentan terjaring radikalisme dan terorisme melalui jejaring online. Pertama, kemudahan mengakses informasi dari internet dan jejaring media sosial tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyaring informasi tersebut. Lewat internet dan media sosial, konten hoax (berita bohong) lebih masif dan fenomenal saat ini. Itu seakan berlomba dengan konten hate speech (ujaran kebencian) dalam memenuhi internet dan jejaring media sosial. Intensitas tinggi tetapi literasi yang lemah di kalangan anak muda akan menyebabkan mereka mudah terjaring dan terprovokasi oleh konten yang mereka akses. Kedua, kemahiran kelompok-kelompok teroris menyusupkan beragam propaganda mampu memikat pengguna internet dan media sosial. Mereka mampu memanfaatkan media sosial untuk menggalang, merekrut, memengaruhi, dan mengajak, terutama anak-anak remaja. Banyak anak yang masih remaja direkrut untuk ikut bergabung dengan kelompok IS yang ada di Suriah. Bahkan beberapa pelaku teroris melakukan aksi berangkat dari apa yang didapatkan dari internet.
Ketiga, krisis figur yang dapat diteladani juga turut memengaruhi kalangan generasi muda. Media TV ataupun media online hampir tak pernah lepas dari berita yang memuat figur publik dengan beragam latar belakang profesi terjerat kasus pidana atau masalah-masalah lainnya. Sangatlah sulit menemukan sosok-sosok pribadi figur publik yang mampu diteladani. Ketiga faktor tersebut hanya merupakan bagian dari berbagai faktor lain yang turut memengaruhi generasi muda terjerat ke dalam radikalisme. Bahkan dunia pendidikan tidak lepas dari pengaruh tersebut. Awal 2016 yang lalu, kita tercengang oleh temuan buku-buku mengandung unsur radikalisme yang sudah menjamah pendidikan prasekolah dasar (TK) di Depok. Begitu pula temuan data seorang siswa kelas 5 SD di Sukabumi sudah terpapar radikalisme dan terhubung dengan jejaring terorisme di Suriah. Sebelum itu, Setara Institute pernah mengungkap data pada 2015 bahwa satu dari 14 siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan IS.
Langkah efektif
Mencermati perkembangan kekinian, BNPT terus menggalang berbagai elemen bangsa untuk bersama melawan radikalisme, menggalakkan kontraradikalisasi. BNPT terus bersinergi dengan lembaga pemerintah lainnya dan berbagai media untuk menyatukan dan menyamakan persepsi dalam menghadapi ancaman tersebut.
Salah satu upaya BNPT ialah merangkul dan menggandeng generasi muda dalam memerangi radikalisme di dunia maya. BNPT sudah mengemas dan mengumpulkan sekitar 600 netizen, mulai bloger, desainer komunikasi visual, hingga ahli IT. Langkah tersebut sebagai bagian dari upaya paripurna BNPT untuk membendung dan melawan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Meski demikian, langkah BNPT bersama jaringan FKPT di daerah-daerah memerlukan kesadaran dan gerak bersama dalam menangkal arus radikalisme yang menyasar generasi muda, antara lain, pertama, generasi muda aktif dalam kegiatan-kegiatan literasi media, literasi digital baik yang diadakan BNPT maupun lembaga nonpemerintah. Tujuannya agar kalangan anak muda dapat memiliki kemampuan yang memadai dalam memilah berbagai informasi digital dan memerangi konten hoax, radikalisme, dan konten negatif lainnya. Dengan demikian, kalangan anak muda menjadi agen-agen pembaru dalam memerangi konten negatif di internet ataupun jejaring media sosial.
Radikalisme yang menyasar generasi muda hanya dapat dibendung dengan penolakan dan perlawanan dari generasi muda pula. Generasi muda kreatif, dengan bahasa dan preferensi yang sama mampu menggandeng dan merangkul yang lain untuk terhindar dari radikalisme dan terorisme. Kedua, peranan keluarga sebagai pelindung anak dari radikalisme. Orangtua harus mengetahui aktivitas anak, aktif memberikan pendampingan dan pemahaman. Proses pencarian jati diri dalam usia remaja sangat rentan oleh berbagai pengaruh dari luar. Meskipun mereka hanya di rumah, jendela dunia sangat terbuka melalui jejaring internet dan media sosial. Akses informasi ataupun interaksi komunikasi menjadi intens dengan smartphone tanpa perlu keluar rumah. Sebagai penutup, BNPT mengingatkan generasi muda untuk tidak menebar konten hate speech karena konten seperti itu dapat menjadi pemicu dan memupuk bibit kekerasan. BNPT mengajak seluruh anak muda bersatu padu menghadapi konten radikal yang berisi kekerasan dan terorisme.
Komentar
Posting Komentar