Langsung ke konten utama

Benarkah Ada Kebangkitan Radikalisme Di Indonesia?

Akhir-akhir ini, benak saya terusik dengan berbagai opini yang disuarakan secara gencar oleh sejumlah kalangan. Akademisi, insan media, selebtwit, artis, dan sederet manusia populer, ramai-ramai menyuarakan keprihatian bertajuk: bangkitnya radikalisme di Indonesia. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan rakyat, nih, ada bahaya yang sangat mengerikan. Bahaya kebangkitan kaum radikal yang perlu ditangkal. Kalian semua bakal dapat masalah segede gaban, jika tidak segera mengantisipasi dan melawan kebangkitan kaum radikal ini!
Sekali lagi, tesis yang mereka angkat adalah: Indonesia sedang memasuki fase gawat darurat karena kebangkitan kaum radikal! Tesis yang sangat mengerikan, bukan? Tak hanya bikin bulu kuduk merinding, tetapi opini tersebut berpotensi menjadi labelisasi massal untuk ratusan juta kaum Muslimin di seluruh Indonesia. Kalangan muslim yang santun dan hidup damai berdampingan dengan agama lain, tiba-tiba distigmatisasi sebagai sobat kentalnya ISIS yang antidemokrasi, fundamentalis, radikalis dan ekstrimis.
Ada dua pertanyaan yang berkelit kelindan di benak saya. Siapa sebenarnya kaum radikal tersebut? Dan Betulkah telah terjadi kebangkitan kaum radikal di Indonesia? Yuk, kita diskusikan!
Kita bahas yang pertama dulu ya. Biar runtut, mari kita mulai definisikan, apa itu radikal. Dalam KBBI, radikal dan radikalisme diartikan sebagai berikut:
radikal1/ra·di·kal/ a: 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak;
radikalisme/ra·di·kal·is·me/ n: 1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik
Radikalisme  sering disinonimkan dengan fundamentalisme, dan diterjemahkan dalam bahasa awam sebagai aliran garis keras yang menginginkan adanya perubahan dengan cara ekstrim sesuai dengan keyakinan yang mereka inginkan. Nah, karena radikalisme ini banyak dikaitkan dengan kalangan Islam, maka terlontarlah tuduhan, bahwa gerakan radikalisme Islam ini ingin mendirikan negara Islam yang berbasis syariat di negeri ini secara paksa.
Kalau bicara radikalisme, mau tidak mau, kita akan merujuk pada teori Samuel Huntington (1997) yang dikenal dengan tesis Clash of Civilization. Huntington memandang, bahwa radikalisme dan terorisme itu seruang dan sebangun. Dan, menurutnya, terorisme sebenarnya merupakan benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis a-vis Barat. Bahwa memang akan ada struggle for power—perebutan kekuasaan antara kalangan Islam vs Barat yang memperebutkan hegemoni dunia.

Kalau dirunut dari teori tersebut, berarti secara tersirat, mereka sedang menuduh bahwa kemenangan Anies-Sandi juga ditunggangi kekuatan terorisme. Waduh, makin parah, ya...
Cukup menarik untuk dibahas adalah tulisan Saiful Mujani (2007), dalam bukunya yang berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, yang diterbitkan oleh Gramedia. Menurut beliau, Islam Radikal di Indonesia sebenarnya bukan fenomena yang genuine lahir di Indonesia, namun sangat dipengaruhi oleh pergerakan Islam di Timur Tengah. Keberadaan gagasan “Islamisme” yang mereka bawa pun tidak sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesia-an. Nah, sekarang kita jadi paham, ya, kenapa muncul ide-ide Islam Nusantara. Maksudnya mungkin (CMIIW), Islam yang berkembang saat ini bukanlah Islam yang digali dari budaya Nusantara, bukan Islam yang dikembangkan walisongo dan dai-dai NU atau Muhammadiyah, namun “Islam Import” yang dipengaruhi berbagai harakah di Timur Tengah.
Nah, “Islam Import” yang bercorak radikalisme ini, ditengarai berkembang pesat di masyarakat kita, dan bahkan mampu mengegolkan Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur di ibu kota. Ini merupakan alarm berbahaya! Begitu isu yang terus dihembus-hembuskan. Lama-lama, isu ini menjadi semacam paranoid alias Islamofobia yang berkembang dan sengaja kipas-kipaskan agar membesar.
Siapa sebenarnya yang menjadi representasi gerakan radikal tersebut? HTI? Well, HTI yang berasal dari gerakan transnasional dan didirikan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di Palestina pada 1953 ini memang berkembang pesat di Indonesia, tetapi, berapa sih jumlah mereka? Di kampus-kampus, yang dianggap sebagai lumbung kaderisasi, mereka juga bukan mayoritas. Di masyarakat, lebih tak dikenal lagi. Lebih lanjut lagi, apakah HTI radikal? Dari segi pemikiran mungkin iya. Tapi, saya cukup lama berinteraksi dengan teman-teman dari HTI. Mereka tak pernah menggunakan kekerasan dan cara-cara teror dalam menebarkan apa yang menjadi fikrahnya.
FPI? Betulkah FPI merupakan representasi gerakan radikal? FPI memang memiliki massa, perannya dalam mendukung Anies-Sandi juga cukup besar, tetapi kita terlalu sulit untuk mengukur, seberapa besar kekuatan FPI, dan apakah FPI-Effect mampu mengumpulkan 58% suara orang Jakarta? Sepertinya tidak! Saya memang tidak terlalu paham anatomi-fisiologi-taksonomi FPI. Tetapi saya bisa mengira-ira, FPI mendapat penentangan keras dari berbagai elemen masyarakat karena mengklaim diri berkonsentrasi dalam gerakan 'nahy munkar'.

PKS? Betulkah PKS adalah gerakan radikal? PKS memang sering dikait-kaitkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hamas Palestina. PKS juga merupakan gerakan dakwah yang berkembang pesat di masyarakat. Namun saat ini, justru saya melihat, saat ini ada upaya kuat dari PKS untuk melebur dan melakukan “Indonesianisasi” dalam nafas gerakannya. 
Jikapun HTI, FPI dan PKS dianggap tetap radikal—ya mungkin ada yang ngotot menuduh begitu, saya tetap tidak yakin bahwa mereka “cukup besar” untuk bisa mengumpulkan 58% suara di Pilkada DKI.
Well, jadi, sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia? Bukan gerakan radikalisme yang bangkit dan mendominasi. Namun memang sejak seabad silam, percaturan politik Indonesia memang selalu diisi oleh dinamika persaingan antara kalangan nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler. Menarik sekali komentar seorang teman, Ganjar Widhiyoga, kandidat P.Hd dengan konsentrasi Government and International Affairs di Durham University, UK. Menurutnya, rivalitas dua kalangan ini telah terjadi sejak zaman pergerakan nasional.
Begini komentar Ganjar, “Persaingan antara kelompok nasionalis Islami dan nasionalis sekuler sudah ada sejak masa kemerdekaan, memuncak di Konstituante. Sejak Demokrasi Terpimpin sampai Orba, aparat negara dipegang oleb mereka yang cenderung berseberangan dengan aktivis nasionalis Islam.”
Berlebihankah komentar Ganjar? Tidak! Kalangan Islam ikut berjuang keras memerdekakan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, memakmurkan kemerdekaan. Namun, sampai saat ini, tetap saja mereka termarjinalkan dari kekuasaan. Bahkan, jika mau jujur, marjinalisasi itu sudah sampai pada tahap penghilangan eksistensi kalangan Islam. Coba lihat rentetan sejarah ini!
1905 Syarikat Dagang Islam berdiri, yang diakui sebagai kebangkitan nasional adalah Budi Utomo (pribumi ningrat)

KH Ahmad Dahlan mendirikan banyak sekolah Muhammadiyah, yang dijadikan bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara (nasionalis)

KH Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH Wahid Hasyim ikut terlibat menggodok piagam Jakarta, namun yang dikenal sebagai pencipta Pancasila adalah Bung Karno (nasionalis )

Resolusi Jihad Syekh Hasyim Asy'ari menyebabkan para pemuda rela menyumbang nyawa demi tegaknya proklamasi, namun tetap saja yang banyak disebut-sebut sebagai pendiri negara adalah Sukarno Hatta.

Dewan Konstituante dibubarkan oleh Bung Karno, lalu Masyumi diciduk, dibubarkan, tokoh-tokohnya dipenjarakan.

Di orde baru kalangan Islam mendapatkan “neraka” di mana eksistensi benar-benar dipasung. Rezim Orba yang represif telah membuat para nasionalis Islam tiarap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1.362 MW Pembangkit dari Proyek 35.000 MW Sudah Beroperasi

Program 35.000 Mega Watt (MW) yang dicanangkan oleh pemerintah terus menunjukkan perkembangan. Hingga 1 Februari 2018, tercatat pembangkit listik yang telah beroperasi adalah sebesar 1.362 MW dan yang sedang tahap konstruksi sebesar 17.116 MW. "Peningkatan ini tak lepas dari kontribusi pembangkit listrik PLN maupun Independent Power Producer (IPP)," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/3/2018). Baca juga:  Bagaimana Progres 35.000 MW Jokowi? Ini Penjelasan PLN Sejauh ini, sebesar 896 MW dari total 1.362 MW yang beroperasi dihasilkan dari IPP, sementara 466 MW dibangun oleh PT PLN (Persero). Pembangkit yang beroperasi tersebar di wilayah Sulawesi dengan total 538 MW, disusul Sumatera 455 MW, Maluku dan Papua 135 MW, Kalimantan 126 MW, sedangkan sisanya tersebar di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 108 MW. Lebih lanjut, Agung menambahkan saat ini sebany...

Fenomena Kaum SCBD (Sesapian-Cingkrangan-Bumi Datar)

By Apriadi Rizal Jadi gini, SCBD yang ini bukanlah Sudirman Central Business District yaitu kawasan terkenal dan mewah ditengah jantung ibukota. SCBD disini adalah mereka yang sangat mengharubirukan dunia Indonesia. Mereka adalah kaum yang selalu komen nyinyir kepada pemerintah yang sedang sibuk membangun negeri.  Mereka jugalah yang setiap hari membuat keonaran dengan alasan agama. You know lah! Cikidap, cikidap youw. (Habis goyang dengan lagu hip-hop) Jujur saya sendiri kurang tahu jelasnya mengenai sejarah tentang frase sesapian, cingkrangan, dan kaum bumi datar. Kapan mulai malang melintang didunia permediaan Indonesia. Kalau ada pembaca atau penulis lain yang bisa merangkumnya, akan sangat keren sekali. Karena akan menjadi salah satu bacaan yang sangat berguna bagi sejarah bangsa ini. Kenapa berguna? Pastinya menjadi rujukan kepada siapa saja manusia yang ingin maju. Rujukan untuk apa? Pastinya rujukan u...

TRI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Oleh: H. Agus (Jurnalis/Pemerhati Masalah Sosial Budaya dari Dompu, NTB) ================== Tri kerukunan umat beragama merupakan konsep yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat antar umat beragama yang rukun. Istilah lainnya adalah "Tri kerukunan". Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat. Perbedaan atau kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku-suku di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Pemerintah sendiri telah menyadari resistensi ko...