Selama radikalisme
tumbuh subur, maka terorisme akan cepat berkembang-biak dengan cepat. Saya
ibaratkan terorisme di Indonesia memiliki ajian “rawa rontek” yang memberikan
hidup abadi. Konon, ajian yang disebut dengan “pancasona” ini selama tubuh
masih menyentuh tanah/bumi, meski tubuh itu sudah terpenggal, akan menyambung
dan hidup lagi. Demikian pula dengan terorisme.
Selama radikalisme
dibiarkan, malah acap kali masuk dalam kanal politik praktis dan digunakan
rezim kekuasaan sebagai pemukul lawan politik—terorisme tidak akan pernah mati.
Benar Santoso Abu Wardah telah mati, tapi “jiwa teror” Santoso akan merasuki
tubuh-tubuh lain dalam ranah radikalisme yang akhirnya menjelma Santoso-Santoso
baru.
Terorisme tidak pernah
mati di Idonesia terbukti dengan lahirnya beberapa lintas generasi. Tito
Karnavian saat menjadi Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
pernah menyebut “gelombang kedua” terorisme dengan munculnya aksi-aksi terror
terkait ISIS di Indonesia pasca bom di Sarinah Januari 2016.
Santoso Abu Wardah
yang kini mati ditembak polisi pun terkait jaringan ISIS di Indonesia. Sedangkan terorisme “gelombang pertama” terkait dengan Al-Qaida pertama kali
muncul pada tahun tahun 1999, yang dilanjutkan Bom Bali pertama dan kedua, bom
Kuningan dan lain-lainnya sampai mereda pada tahun 2009 saat Densus 88 berhasil
menembak mati dr Azahari di Batu, Jawa Timur.
Namun hemat saya,
membagi terorisme di Indonesia hanya dua gelombang merupakan pandangan yang
ahistoris, karena terorisme baik yang disebut gelombang pertama dan gelombang
kedua tidak lain merupakan metamorfosis dari jaringan terorisme sebelumnya.
Dimulai dari Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo yang merupakan cikal-bakal
kelompok teroris di Indonesia. DI/TII adalah kelompok teror lokal yang kemudian
mengglobal setelah menerima sentuhan dari ideologi teror dari luar Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, kader-kader DI/TII ini mendapatkan indoktrinasi
dari ideologi Jamaah Islamiyah (JI), Tandzimul Jihad dan Jamaah Takfir wal
Hijrah yang tumbuh dan membesar di Mesir yang berhasil mengeksekusi Presiden
Mesir Anwar Sadar tahun 1981.
Mulai dari DI/TII
hingga ISIS
Masuknya ideologi
teror ini ke Indonesia, mengubah tokoh-tokoh dan kader-kader DI/TII menjadi
sosok teroris yang memiliki ideologi, visi dan cita-cita yang baru, yang
sasarannya tidak hanya “musuh dekat” (al-‘aduww al-qarib)—seperti
rejim pemerintahan yang disebut thagut (kafir, tiran) di negaranya juga
mengidentifikasi dan menyasar “musuh jauh” (al-‘aduww al-ba'id) yang
berada di luar teritori negaranya.
Apabila kita menurut
kronologi terorisme di Indonesia, maka, ISIS merupakan “gelombang keempat”
dengan perincian: gelombang pertama adalah DI/TII,
gelombang kedua: Jamaah Islamiyah (JI), gelombang ketiga:
Al-Qaida dan gelombang keempat: ISIS. Adapun tokoh-tokoh teror yang
saat ini terkait dengan ISIS baik yang diburu oleh Densus 88 atau yang sudah
masuk penjara, seperti Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurrahman merupakan
metamorfosis dari kelompok-kelompok teror sebelumnya.
Mengapa tak kehabisan anggota?
Jaringan terorisme
lokal mengikuti perkembangan induk organisasi teror global, apabila satu
kelompok dilihat lebih kuat baik dari sisi militer dan dana, maka,
kelompok-kelompok teror lokal akan menyatakan sumpah setia (baiat) pada mereka.
Meredupnya Al-Qaida pasca terbunuhnya Osama bin Laden, dan munculnya ISIS
(Islamic State in Iraq and Sham) yang kemudian mendeklarasikan Khilafah Islam
dan Negara Islam (Islamic State) secara global menarik simpati, dukungan dan
sumpah setia dari kelompok-kelompok teror lokal di banyak negara. Misalnya dari
Boko Haram di Nigeria, Abu Sayyaf di Mindanao Filipina dan jaringan JI-Al-Qaida
di Indonesia yang sudah menyatakan sumpah setia pada ISIS.
Oleh karena itu,
jaringan terorisme global hanya melakukan rebranding ,
menyuplai dana hingga rekrutmen terhadap kelompok teror lokal. Namun masalah
sebenarnya tetap dalam konteks lokal itu sendiri.
Mengapa kelompok teror
lokal tidak pernah kehabisan amunisi dalam bentuk manusia? Karena radikalisme
yang merupakan tempat persemaian dan tumbuhnya terorisme tidak pernah disikap
secara serius. Ormas radikal, wacana radikal, hingga hate speech di Indonensia
baik dalam bentuk website, pengajian, media sosial dan lain-lainnya sangat
mudah tersebar. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menyasar
kelompok-kelompok minoritas keagamaan dibiarkan, bahkan didukung untuk
memperoleh dukungan politik dari kelompok sentimen berbasis agama.
Kita masih menyaksikan
Front Pembela Islam (FPI) yang identik dengan aksi-aksi kekerasan masih
"dipakai" dalam politik di Indonesia. Demikian pula Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang menyebut demokrasi, UUD 45 dan Pancasilan sebagai sistem
kufur dan thagut masih bebas melakukan kaderisasi dan menyebarkan ideologi
radikalnya. Padahal kita tahu, Bahrun Naim yang kini masuk list orang Indonesia
yang gabung ISIS sebelumnya aktif dalam Hizbut Tahrir. Pelaku-pelaku teror di
Indonesia baik yang melakukan bom bunuh diri sebelumnya menerima pelatihan dan
pengaderan dari kelompok dan ormas radikal sebelum mereka ditahbiskan sebagai
pelaku teror.
Kelompok dan ormas
radikal adalah 'kawah candradimuka' untuk jaringan dan kelompok teror. Dari
amatan kronologi generasi terorisme Indonesia yang sudah empat generasi ini,
dapat diambil kesimpulan: jaringan dan pelaku teror di Indonesia tidak pernah
kehilangan kader dan simpatisan. Bahkan, beberapa tokoh parpol politik (yang
berbasis Politisasi Islam) dan tokoh-tokoh publik ikut menyerang Densus 88
sehingga terbentuk opini jaringan terorisme adalah konspirasi belaka dan muncul
simpati pada pelaku teror dan keluarganya.
Mati satu, tumbuh seribu
Tidak adanya politik
kebangsaan dan minimnya kebijakan pemerintah yang mempunyai visi dan misi yang
tegas yang memerangi radikalisme hanya akan mengabadikan lingkaran kekerasan
akibat terorisme ini: “mati satu, tumbuh seribu”. Densus 88 memburu teroris,
setelah mereka berhasil membunuhnya, namun tubuh itu dibiarkan jatuh pada bumi
radikalisme, yang memberikan kehidupan kembali pada jaringan terorisme itu.
Tindakan ini merupakan kesia-siaan belaka. Ada yang mengibaratkan: dalam
memerangi terorisme pemerintah hanya memotong batang bambu, tapi tidak pernah
bisa mencabut akarnya, karena membutuhkan kemauan dan pekerjaan yang lebih sulit
dan menguras tenaga. Batang pohon bambu boleh rubuh, namun selanjutnya mudah
tumbuh dan bahkan memunculkan tunas-tunas baru.
Demikianlah kisah
peperangan terhadap terorisme di Indonesia yang tidak pernah mengurangi
ancaman, karena terorisme di Indonesia seperti memiliki ajian “rawa rontek”,
satu tubuh berhasil dirubuhkan Densus 88, tapi karena tanah/bumi radikalisme di
Indonesia tidak pernah disiangi dari benih-benih teror, maka, terorisme akan
terus mengancam. Imam Samudra, Amrozi, dr Azhari, Santoso dan lain-lainnya
hanya nama, sosok-sosok lain akan terus menggantikannya
Komentar
Posting Komentar