Terorist atau Teroris adalah julukan atau
sebuat bagi orang yang profesinya, kerjaannya, obsessinya, hobinya
melakukan teror terhadap negara atau pemerintahan melalui gangguan
keamanan dengan cara kekesaran pada rakyat. Ini pemahaman saya pribadi.
Menurut Wikipedia, Terorisme adalah puncak
aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan
terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme
tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. … Korban tindakan Terorisme
seringkali adalah orang yang tidak bersalah.
Menurut KAmus Besar Bahasa indonesia,
Teroris adalah orang yang menggunakan cara kekerasan untuk menimbulkan
rasa takut. Biasanya digunakan untuk tujuan politik.
Dilihat dari definisinya saja, Teroris
adalah berbahaya dan harus dimusnahkan. Lalu kenapa Dewan Wakil Rakyat
tidak bertindak cepat ketika sebagian besar rakyat melihat bahwa negara
SAAT INI sudah dalam keadaan diteror dan menimbulkan banyak korban?
Apakah ini suatu kesengajaan
dimana sang Teroris digunakan sebagai alat untuk mengguncang
pemerintahan, Setelah serangkaian aksi bela agama tidak ada hasilnya?
Pertanyaan ini menggelitik saya.
Saya menghubungkan dua fakta antara kinerja pemerintahan sekarang
dibawah nahkoda Presiden Jokowi yang benar-benar merubah wajah
Indonesia dengan cara menghalau para koruptor, para pencuri ikan,
membangun infrastruktur didaerah yang dulu tidak terjamah, mengusahakan
maksimal keadilan sosial dengan menyamakan harga BBM diseluruh
Indonesia, Meningkatkan pelayanan masyarakat yang anti pungli,
melancarkan dan memudahkan penyebaran logistik, mempercepat dwelling
time, mengejar wajib pajak, menerangi daerah tertinggal, menyisir
perbatasan dan menghajar para pencoleng dengan menegakkan peraturan, dengan perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan oleh semua perubahan yang pemerintah lakukan.
Menghubungkan dua fakt antara kinerja pemerintahan sekarang sebagai pihak pertama dengan perlawanan dari pihak kedua yang merasa dirugikan oleh semua perubahan yang pemerintah lakukan, Teroris bisa menjadi jembatan bagi pihak kedua untuk mencapai apa yang diniatkan. yaitu menghentikan perubahan memajukan Indonesia untuk tetap menikmati kekayaan Indonesia.
Mungkinkah itu menjadi alasan dibalik mangkraknya pembahasan Revisi Undang-Undang Anti-Teroris di Dewan Perwaklian Rakyat?
Pada medio, 4 Maret 2017, saya menulis
satu artikel tentang usulan Kapolri Tito Karnavian yang saat itu
dipanggil oleh DPR, secara spesifik, Tito meminta DPR untuk MENCIPTAKAN
satu pasal khusus yang menangani “Kriminalisasi Perbuatan Awal”. Pasal
tersebul adalah pasal pencegahan sebelum suatu kegiatan
terorisme terjadi, yaitu perbuatan awal pada saat proses si pelaku
menuju radikal. Di Luar Negeri Undang-Undang ini di sebut “Proscription of Terorist Organisation”. Sampai
hari ini, saya tidak pernah mendengar atau membaca nerita tentang
tindak lanjut dari pihak DPR terhadap permintaan Kapolri kita tersebut.
(Baca : https://seword.com/politik/tito-karnavian-undang-undang-a-la-minority-report/)
Pembahasan ini adalah untuk merevisi
Undang-undang yang sudah ada yaitu Undang-Undang nomor 15 tahun 2013
tentang pemberantasan tindak pidana Teroris. Ada beberapa poin yang
dipermasalahkan dalam pembahasan tersebut, misalnya:
- Terkait sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi pihak yang terlibat tindak pidana terorisme. Pasal 46A draf revisi menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan militer, pelatihan paramiliter, pelatihan lainnya, dan/atau ikut perang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, pejabat yang berwenang mencabut paspor dan menyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Terkait dengan keterlibatan TNI menjadi bagian yang menerima mandat.
- Perbaikan fasilitas lembaga intelijen, penguatan lembaga deradikalisasi terorisme, pemahaman terhadap penyebab terorisme, serta perlakuan teroris sesuai Hak Azasi Manusia (HAM).
- Pasal 43 A dan Pasal 43 B. Dalam Pasal 43A draf RUU Anti-Terorisme disebutkan bahwa “penyidik atau penuntut umum dalam rangka penanggulangan dapat mencegah orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa dan ditempatkan pada tempat tertentu dalam waktu paling lama 6 bulan.”
Kalau menilik poin pertama, lalu kita
melihat fakta lapangan adanya Warga Negara Indonesia yang dengan
kesadarannya sendiri pergi ke Syriah lalu membakar passport mereka dan
ingin kembali ke Tanah Air untuk kemudian membuat keresahan, kalau
posisi mereka di luar negeri, pencabutan kewarganegaraan bisa saja
dilakukan. Dengan catatan, pihak ISIS bisa menjamin kewarganegaraan baru
bagi mereka. Tetapi jika posisi mereka didalam negeri, hanya pencabutan
passport yang bisa dilakukan. Kalau pencabutan kewarganegaraan mereka
yang posisinya didalam negeri, lalu mereka harus dideportasi kemana? Ke
laut untuk ditenggelamkan? Kan tidak mungkin.
Lalu untuk poin kedua, kenapa hal ini
harus menjadi isu yang berkepanjangan? Kalau kekhawatirannya timbul
praktis serupa seperti dimasa lalu dimana TNI melakukan penghilangan
orang secara paksa, saya rasa dijaman era Jokowi, Presiden Jokowi
sendiri, tidak akan pernah membiarkan ini terjadi. Saya yakin Pakde akan
sangat menjaga HAM.
Untuk poin ketiga, lagi-lagi hal ini
sangat bisa dibicarakan. Namun kalau say pribadi melihat, ketika
seseorang memutuskan untuk menganut ideologi teroris, kemungkin
seseorang untuk tidak lagi menjadi teroris, sangatlah kecil walaupun
kemungkinan untuk tobat itu selalu ada.
Poin keempat, menurut saya ini berhubungan
dengan apa yang Tito Karnavian usulkan pada DPR tentang pasal Khusus
pencegahan awal. Kalau yang dipermasalahkan adalah tidak disebutkannya
“tempat tertentu” itu kan bisa diatur kemudian, tergantung seberapa
bahayanya orang yang ditangkap. Kenapa harus jadi alasan keterlambatan
pengesahan.
Sungguh menjadi tanda tanya besar, kenapa
DPR begitu lelet merampungkan UU Anti-Teroris ini. Padahal disaat yang
bersamaan, sejumlah aksi teror terjadi di Indonesia dan WNI dalam jumlah
besar pulang dari Suriah, yang sebagian diduga sebagai bagian dari
ISIS. Aparat penegak hukum banyak yang mengeluh karena tak adanya payung
hukum yang cukup dalam menindak mereka dan ini membebani tugas mereka.
Disisi lain, tenggat waktu atau akhir masa
sidang di DPR RI yakni tanggal 28 Juli 2017. Jika sampai tanggal yang
ditentukan tersebut, RUU Anti Teroris ini masih juga belum disahkan,
apakah mahasiswa juga harus turun kejalan?
Secara terpisah, mantan Ketua
Badan Penanggulangan Terorisme atau BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan
“Keterlibatan Militer sebetulnya bukan masalah. hanya diputar-putar
saja. Ini memang politis dan yang bikin politis, ya, para politikus itu.
Kalau TNI-Polri saya yakin nggak ada masalah”
Bener kan kata saya? Apakah keleletan mensahkan RUU Anti Teroris adalah suatu kesengajaan??
Komentar
Posting Komentar