Dunia
internasinal secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah
digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang
kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka,
karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di
gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat
mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di
situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput
darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin
Nayif Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.
Dahulu,
banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan
tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia
telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan
tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi,
walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering
menjadi korbannya?
Melalui
tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan
sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah
ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?
Harian
“Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan
harian Dr. Aiman al-Zawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin. Di antara catatan
harian Dr Aiman al-Zawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:
أَنَّ
سَيِّدَ قُطُبٍ هُوَ الَّذِيْ وَضَعَ دُسْتُوْرَ التَّكْفِيْرِييِْنَ الْجِهَادِيِيْنَ)
فِيْ كِتَابِهِ الدِّيْنَامِيْتِ مَعَالِمَ عَلَى الطَّرِيْقِ، وَأَنَّ فِكْرَ
سَيِّدٍ هُوَ (وَحَدَهُ) مَصْدَرُ اْلأَحْيَاءِ اْلأُصُوْلِيْ، وَأَنَّ كِتَابَهُ
الْعَدَالَةَ اْلاِجْتِمَاعِيَّةَ فِيْ اْلإِسْلاَمِ يُعَدُّ أَهَمَّ إِنْتَاجٍ
عَقْلِيٍّ وَفِكْرِيٍّ لِلتَّيَّارَاتِ اْلأُصُوْلِيَّةِ، وَأَنْ فِكْرَ سَيِّدٍ
كاَنَ شَرَارَةَ الْبَدْءِ فِيْ إِشْعَالِ الثَّوْرَةِ (الَّتِيْ وَصَفَهَا
بِاْلإِسْلاَمِيَّةِ) ضِدَّ (مَنْ سَمَّاهُمْ) أَعْدَاءَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ
الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ، وَالَّتِيْ مَا زَالَتْ فَصُوْلُهَا الدَّامِيَةُ
تَتَجَدَّدُ يَوْماً بَعْدَ يَوْمٍ
“Sesungguhnya
Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’âlim Fî At-Tharîq’
meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid
Quthublah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal.
Sebagaima kitab beliau yang berjudul ” Al-‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm”
merupakan. Hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan
radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi
berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang
yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu
perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”
Pengakuan
Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi
Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan
kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M.
“Tanpa
ada keraguan sedikitpun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan
dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul
Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun
sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka
itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan
bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn
sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”
Lebih
lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan
kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali
pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi
agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”
Sekedar
membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zawâhiri di atas, berikut
saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:
Nukilan
1 :
نَحْنُ
نَدْعُوْ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَيَاةٍ إِسْلاَمِيَّةٍ فِيْ مُجْتَمَعٍ إِسْلاَمِيٍّ
تَحْكُمُهُ الْعَقِيْدَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالتَّصَوُّرُ اْلإِسْلاَمِيُّ كَمَا
تَحْكُمُهُ الشَّرِيْعَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالنِّظَامُ اْلإِسْلاَمِيُّ.
وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ الْحَيَاةَ اْلإِسْلاَمِيَّةَ عَلَى هَذَا النَّحْوِ قَدْ
تَوَقَّفَتْ مُنْذُ فَتْرَةٍ طَوِيْلَةٍ فِيْ جَمِيْعٍ ِلأَنْحَاءِ اْلأَرْضِ،
وَإِنَّ وُجُوْدَ اْلإِسْلاَمِ ذَاتِهُ مِنْ ثَمَّ قُدْ تَوَقَّفَ كَذَالِكَ
“Saya
menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan
masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan
tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada
syari’at dan undang-undang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa
kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi.
Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” [Al
‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182].
Nukilan
2 :
وَحِيْنَ
نَسْتَعْرِضُ وَجْهَ اْلأَرْضِ كُلَّهُ اْليَوْمَ عَلَى ضَوْءِ هَذا التَّقْرِيْرِ
اِْلإلَهِيْ لِمَفْهُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلإِسْلاَمِ، لاَ نَرَى لِهَذَا الدِّيْنِ
وُجُوْدًا
“Dan
bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi
tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi
dari agama ini.” [Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183].
Saudaraku!
sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah
membaca ucapan ini?
Demikianlah,
ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr
Aiman Al-Zawâhiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan
masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.
Mungkin
karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid
Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika menafsirkan surat Yûnus ayat
87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “Tempat
peribadahan Jahiliyah”. Sayyid Quthub berkata:
اعْتِزَالُ
مَعَابِدِ الْجَاهِلِيَّةِ وَاتِّخَاذُ بُيُوْتِ الْعِصْبَةِ الْمُسْلِمَةِ
مَسَاجِدَ. تُحِسُّ فِيْهَا بِاْلاِنْعِزَالِ عَنِ الْمُجْتَمَعِ الْجَاهِلِيِّ؛
وَتُزَاوِلُ فِيْهَا عِبَادَتَهَا لِربِّهَا عَلَى نَهْجٍ صَحِيْحٍ؛ وتُزَاوِلُ
بِالْعِبَادَةِ ذَاتِهَا نَوْعاً مِنَ التَّنْظِيْمِ فِيْ جَوِّ الْعِبَادَةِ
الطَّهُوْرِ
“Bila
umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan
tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota
kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di
dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka
juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di
waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih
menjalankan semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci.”
Yang
dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah
masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang
biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin
semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub
menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Dan
sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga
melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana
ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:
لِهَذِهِ
اْلأَسْبَابِ مُجْتَمِعَةً فَكَّرْنَا فِيْ خِطَّةٍ وَوَسِيْلَةٍ تَرُدُّ
اْلاِعْتَِدَاءَ .. وَالَّذِيْ قُلْتُهُ لَهُمْ لِيُفَكِّرُوْا فِيْ الْخِطَّةِ
وَالْوَسِيْلَةِ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُمْ هُمُ الَّذِيْنَ سَيَقُوْمُوْنَ بِهَا
ِبِمَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ مِنْ ِإمْكَانِيَاتٍ لاَ أَمْلِكُ أَنَا مَعْرِفَتَهَا
بِالضَّبْطِ وَلاَ تَحْدِيْدَهَا…….. .. وَهَذِهِ اْلأَعْمَالُ هِيَ الرَّدُّ
فَوْرَ وُقُوْعِ اعْتِقَالاَتٍ ِلأَعْضَاءِ التَّنْظِيْمِ بِإِزَالَةِ رُؤُوْسٍ فِيْ
مَقْدَمَتِهَا رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ وَرَئِيْسُ الْوِزَارَةِ وَمُدِيْرُ
مَكْتَبِ الْمُشِيْرِ وَمُدِيْرُ الْمُخَابِرَاتِ وَمُدِيْرُ اْلبُوْلِيْسِ
الْحَرْبِيْ، ثُمَّ نَسْفٌ لِبَعْضِ الْمَنْشَآتِ الَّتِيْ تَشِلُ حَرَكَةً
مَوَاصَلاَتِ الْقَاهِرَةِ لِضِمَانِ عَدَمِ تَتَبًّعِ بَقِيَّةِ اْلإِخْوَانِ
فِيْهَا وَفِيْ خَارِجِهَا كَمَحَطَّةِ الْكَهْرَبَاءِ وَالْكِبَارِيْ،
“Menimbang
berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara
untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama`ah:
“Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan
bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu
disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara
apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya …… Tindakan
kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi
Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka,
terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala
intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan
meledakkan mengebom berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi
kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota
Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan
ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.” [Limâzâ A’adamûni oleh Sayyid
Quthub hlm: 55]
Pemaparan
singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang
melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.
Hanya
saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwânul
Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi
tiga aliran:
1.
Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
نَجْتَمِعُ
عَلَى مَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمًا
اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“Kita
bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara
kita”.
Tidak
mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan
dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama
bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di
terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental
ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam
perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan
tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.
2.
Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.
Dan
selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir
di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâsir, ia pun menyeru pengikutnya untuk
mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.
3.
Aliran Muhammad Surûr Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Di
sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak
pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia
yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana
ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.
Selama
tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn
berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita
ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti-pati dengan segala bentuk kesyirikan
dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul
Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa
mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran
ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan
sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali
dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd
hakimiyyah.
Istilah
ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para
pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata.
Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam
beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat
istilah tauhîd hakimiyyah ini:
تَقُوْمُ
نَظَرِيَّةُ الْحُكْمِ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَى أَسَاسِ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ، وَمَتَى تَقَرَّرَ أَنَّ اْلأُلُوْهِيَّةَ ِللهِ وَحْدَهُ بَهَذِهِ
الشَّهَادَةِ، تَقَرَّرَ بِهَا أَنَّ الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ
ِللهِ وَحْدَهُ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ يَتَوَلَّى الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ
الْبَشَرِ عَنْ طَرِيْقٍ أَمَرَهُمْ بِمَشِيْئَتِه وَقَدْرِهِ مِنْ جَانِبٍ،
وَعَنْ طَرِيْقِ تَنْظِيْمِ أَوْضَاعِهِمْ وَحَيَاتِهِمْ وَحُقُوْقِهِمْ
وَوَاجِبَاتِهِمْ وَعَلاَقَاتِهِمْ وَارْتِبَاطَاتِهِمْ بِشَرِيْعَتِهِ
وَمَنْهَجِهِ مِنْ جَانِبٍ آخَرَ…. وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ لاَ
يُمْكِنُ أَنْ يَقُوْمَ اْلبَشَرُ بِوَضْعِ أَنْظِمَةِ الْحُكْمِ وَشَرَائِعِهِ
وَقَوَانِيْنِهِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ؛ ِلأَنَّ هَذَا مَعْنَاهُ رَفْضُ
أُلُوْهِيَّةِ اللهِ وَادِّعَاءِ خَصَائِصِ اْلأُُلُوْهِيَّةِ فِيْ الْوَقْتِ
ذَاتِهِ، وَهُوَ اْلكُفْرُ الصَّرَاحُ
“Teori
hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang behak
diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa
peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula
bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa
Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur
kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain,
Allah Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak,
kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan
ajaran-ajaran-Nya…… Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk
membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan
diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah Azza
wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan
sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” [Al ‘Adâlah
Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80]
Ketika
menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan
mengatakan: “Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada
saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada “lâ ilâha illallâhu”.
Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia,
mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari “lâ ilâha illallâhu”.
Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan “lâ ilâha
illallâhu”, akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka
mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka
tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyah” pada dirinya.
Padahal “al-hakimiyah” adalah sinonim dengan “al- ulûhiyah “.
Yang
dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para
muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para
muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan
selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang
menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka
kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?
Kedudukan
al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam Islam, sebenarnya
tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan
ulûhiyyah . Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allah Azza wa Jalla .
Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta
pergantian siang dan malam, Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَا
لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴿٥٤﴾ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta
alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [al
A’râf/7:54-55]
Pada
ayat 54, Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang
merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah Azza wa Jalla . Pada ayat
selanjutnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan
peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang
halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan
ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih
penting dibanding al- ulûhiyah.
Ucapan
Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak
mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan
upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di
antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah
dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid
Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan
yang menurut saya cukup bagus dan layak di tiru ialah:
1.
Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan
sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub
Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh
2.
Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan
pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para
pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan
ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka
kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.
Mengakhiri
pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran
Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan
U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York,
pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan
ini, sudah sepantasnya bila anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama
pemimpinnya bin Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia
mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh
dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya yakin, hadirin semua
telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan
seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi
tersebut.
Dan
kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab
atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga
turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama
mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni
Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap
bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan
penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta
berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.” [Sumber situs resmi Kementerian
Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia:
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]
Semoga
pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam
menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di
tengah masyarakat kita. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad, keluarga dan Sahabatnya.
Komentar
Posting Komentar