Dalam berbagai pemberitaan,
banyak disebut aksi terorisme yang terjadi di Indonesia didasari oleh
semangat jihad dalam rangka menegakkan syariat Islam. Hal tersebut
kemudian berisiko membentuk opini negatif di masyarakat mengenai makna
jihad yang sesungguhnya. Lebih dari itu, aksi terorisme tersebut juga
berpotensi mendiskreditkan posisi Islam, baik di mata nasional maupun
internasional. Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua hal tersebut? Deputi
Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
Mayjen Agus Surya Bhakti, pernah mengatakan bahwa terjadi penyimpangan
makna jihad yang disamakan dengan terorisme. Menurutnya, hal tersebut
terjadi karena adanya kedangkalan dan keterbatasan pemahaman para pelaku
aksi terorisme mengenai makna jihad yang dimuliakan oleh Islam.
Memang
benar jihad itu baik, Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja menegaskan
dalam Fatwa Nomor 3 Tahun 2004 bahwa jihad itu wajib dalam kondisi
perang agama yang mengancam keberlangsungan sebuah negara dan
masyarakatnya. Sayangnya, fatwa tersebut dimaknai hanya sebagai perang
suci, namun tidak dilihat dari kondisi negara dan masyarakat Indonesia
saat ini, di mana tengah berada di dalam kondisi tenang, tidak dalam
kondisi perang.
Kesalah pahaman
tersebut menjadikan jihad dimaknai dalam bentuk kemasan agama. Para
pelaku teroris tidak memperhatikan dengan baik unsur sosial di dalamnya,
sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka dan agama merekalah yang
benar. Inilah yang kemudian menciptakan impian untuk membentuk negara Islam yang hakiki menurut intepretasi mereka (pelaku teroris).
Isu
terorisme yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal telah muncul sejak
lama di Indonesia, yakni sejak zaman DI/TII di dekade 50-an. Menuut
catatan BNPT, setelah penumpasan besar-besaran DI/TII oleh militer
negeri ini, sebenarnya masih tersisa kelompok-kelompok kecil yang
melanjutkan gerakan tersebut.
Namun
karena tekanan yang cukup keras di masa Orde Baru, banyak dari anggota
kelompok-kelompok kecil pecahan DI/TII tersebut lari ke Malaysia. Di
negeri jiran ternyata mereka dapat bebas beraktivitas serta
berkesempatan memperluas jejaring dengan pihak-pihak yang sepaham, baik
di Malaysia maupun di luar negeri.
Dari
perluasan jejaring itulah kemudian mempertemukan mereka dengan
kesempatan untuk membantu perjuangan umat Muslim dalam konflik di
Afghanistan. Di sana mereka ternyata bersentuhan dengan beberapa
kelompok teroris internasional, di mana salah satunya adalah Jamaah
Islamiyah (JI). Persentuhan tersebut mengakibatkan mereka yang berjuluk
mujahid ini mengalami pencucian otak mengenai ideologi Islam garis
keras.
Konon para mujahid tersebut
mulai berani kembali ke tanah air sejak era reformasi. Karena tekanan
yang mulai melemah terkait eksistensi mujahid di Indonesia, membuat
celah terjadinya aksi terorisme kain meningkat. Dari sinilah kemudian
mulai terjadi aksi terorisme nyata dalam bentuk pengeboman, seperti Bom
Bali I di tahun 2002, Bom Bali II, Bom Kuningan, dan lain-lain.
Aksi
pengeboman tersebut awalnya memang merupakan hasil persentuhan para
mujahid dengan kelompom Jamaah Islamiyah. Namun setelah penangkapan
berbagai tokoh kunci aksi terorisme tersebut, kini kegiatan teror
terpecah-pecah menjadi kelompok lebih kecil. Para kelompok kecil ini
masih tetap menjadi bagian dari kelompok besar sebelumnya, namun karena
kosongnya posisi pemimpin, maka aksi mereka pun melemah.
Meskipun
begitu, kita harus tetap waspada terhadap aksi terorisme karena hal
tersebut masih berpotensi kuat terjadi Indonesia. Diperlukan aksi
pencegahan yang bersifat semesta, yakni berupa pengerahan
semua kemampuan negara dan masyarakat dalam mederadikalisasi aksi
terorisme di Indonesia. Hal ini dilakukan karena penanggulangan
terorisme tidak dapat dilimpahkan ke negara arah lembaga tertentu saja,
melainkan dalam bentuk kerja sama dengan seluruh komponen negara dan
masyarakat Indonesia.
Mengingat
penyebaran aksi terorisme yang semakin meluas di tanah air, bahkan
hingga ke elemen-elemen terkecil di masyarakat, diperlukan adanya
kesadaran hidup dalam kedamaian. Sikap apatis dalam bermasyarakat dapat
mendorong munculnya kekerasan dari oknum-oknum tertentu yang mengalami
pemahaman dangkal akan makna kehidupan sosial yang damai. Jangan
sampai kondisi apatis di dalam masyarakat kian meningkat, karena sikap
apatis terbukti telah banyak menjadi salah satu faktor penyebab
tumbuhnya aksi terorisme.
Komentar
Posting Komentar