Jakarta - Undang-undang (UU) Terorisme yang saat ini masih dalam tahap pembahasan di DPR, diharapkan bisa saling mendukung dengan UU Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam pencegahan terorisme melalui dunia maya. Hal itu dikemukakan pakar hukum Romli Atmasasmita, seusai pertemuan kelompok ahli BNPT di Jakarta.
“Meski dalam UU ITE sudah lengkap tentang pasal-pasal penghinaan dan sebagainya melalui dunia maya, dalam UU Terorisme nanti juga harus dimasukkan, terutama yang menyangkut propaganda radikalisme dan terorisme. Intinya sepanjang isinya penghinaan, penistaan melalui media sosial itu ancamannya berat, apalagi terorisme,” kata Romli, seperti rilis yang diterima redaksi, Selasa (6/12).
Menurut Romli, antisipasi bahaya radikalisme dan terorisme melalui dunia maya ini harus dilakukan secara tegas. Apalagi terbukti, beberapa aksi terorisme di Indonesia dilakukan oleh pelaku yang terjangkit ajaran kekerasan melalui dunia maya seperti beberapa aksi lone wolf (aksi yang dilakukan sendirian) di Medan, Solo, dan Tangerang.
Tidak hanya instrumen hukum, banyak hal di dunia maya yang harus dilakukan untuk membendung terorisme, apalagi urusan terorisme itu biasanya menyangkut ideologi.
“Untuk menangani ideologi itu tidak cukup setahun, tetapi harus terus dipantau. Apalagi buat mantan teroris yang sudah keluar lembaga pemasyarakatan (lapas). Mereka harus diarahkan ke mana setelah itu, kalau punya keahlian harus diberi pekerjaan, agar tidak menganggur. Karena kalau sampai menganggur, mereka bisa berpikir kembali menjadi teroris. Intinya untuk menangani ini harus dilakukan dari hulu sampai hilir,” papar Romli.
Dalam melakukan pencegahan, lanjut Romli, tidak cukup dengan melakukan penahanan atau penangkapan, tetapi harus juga dilakukan cara-cara pencegahan (soft approach) yang salah satunya melalui dunia maya. Apalagi faktanya, saat ini penyebaran paham kekerasan, terutama yang dilakukan kelompok ISIS, di dunia maya sangat masif. Hal itu harus diimbangi dan dibendung melalui upaya-upaya menyebar kedamaian dan hal-hal positif di dunia maya.
“ISIS menyebarkan propaganda di dunia maya dengan segala hal. Bahkan anak-anak usia muda sudah diajari menembak dan membunuh orang. Nah itu sangat bahaya sekali. Bayangkan dalam video itu anak-anak usia 8-15 tahun diajari jadi teroris, hitung saja ke depannya kalau mereka makin dewasa, pasti akan makin jadi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Romli, cara-cara penanganan terorisme itu harus paralel dalam penindakan dan pencegahan. Upaya preventif itu juga harus paralel bersama-sama, tidak hanya BNPT atau kepolisian saja, tapi ulama dan masyarakat juga harus berperan. Dan itu harus dituangkan dalam UU Terorisme.
“Jadi bukan cuma diimbau. UU Terorisme yang direvisi itu harus diperluas. Misalnya ulama tidak disebut dalam UU Terorisme, sehingga seolah-olah ini kerjaan polisi atau BNPT saja. Tidak bisa seperti itu, harus ada bab mengenai peran serta masyarakat, termasuk oleh ulama. Jadi ulama wajib dan bisa masuk bab khusus dalam pencegahan terorisme mengenai peran serta masyarakat,” terangnya
Intinya, UU Terorisme nanti harus diperluas. Apalagi ISIS selalu mengkafirkan orang lain. Padahal jelas tuduhan pengkafiran itu termasuk penistaan agama. “Saya berpikir KUHP pasal 156a mengenai penodaan agama bisa diangkat masuk dalam UU Terorisme. Contohnya dulu seperti kasus korupsi, pasal delik jabatan di KUHP kita masukkan ke korupsi. Jadi untuk UU Terorisme, yang tadinya penistaan agama itu biasa, untuk negara yang masyarakat pluralisme itu jadi luar biasa,” katanya
Yang kedua, lanjut Prof Romli, penistaan secara individual bukan termasuk teroris. Namun, penistaan yang menimbulkan dampak luar biasa seperti kerusuhan dan konflik sosial, maka itu bisa masuk sebagai teroris. “Dengan demikian saya berpikir semua yang demo-demo biarin saja. Namun, begitu dia ngomong macam-macam dan menimbulkan keributan, apalagi sampai mengancam NKRI, maka itu teroris,” tukasnya.
Komentar
Posting Komentar