Mataram–Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT bersama
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) NTB menggelar literasi
media sebagai upaya cegah dan tangkal radikalisme dan terorisme di
masyarakat. Langkah ini mendorong kalangan media dan khalayak untuk
melawan gerakan radikal.
Deputi Deradikalisasi BNPT Prof Irfan mengatakan, mulai banyak yang mengatasnamakan agama dengan tujuan politik. Masalah agama, selain kejahatan ekonomi juga politik.
“Ada pihak yang ingin merubah bangsa jadi negara agama,” katanya.
Irfan mengungkapkan, teroris dapat ditanggulangi. Kehebatan aparat keamanan di Indonesia diakui. Justru mencegah yang sangat berpengaruh menghalau terorisme.
“Hanya melalui media dicegah. Media hadir mencerdaskan dan mengkritisi masyarakat,” imbuhnya.
Diungkapkan, teroris adalah anak kandung dari radikalisme. Karena radikalisme kemudian lahir para teroris.
“Teroris sudah pasti radikal, namun yang radikal belum tentu teroris,” ucapnya.
Berpikir radikal, lanjutnya, ada tiga hal yang muncul objektif, sistematis, dan universal. Negatifnya ketika ada tambahan isme dalam radikal yang artinya paham.
“Radikal berpikir boleh, tapi ketika menjadi paham itu harus dilawan, ” imbuhnya.
Di Indonesia, kata Irfan, bila digabungkan seluruh agama, harusnya Indonesia adalah negara paling damai. Pancasila adalah bonus terbesar negeri ini. Bahasa Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai ditinggalkan.
“Kontrapropaganda tidak bisa lari dari kemajuan zaman. Generasi sekarang harus ikut arus tapi jangan terbawa arus,” tandasnya.
Ditambahkan, generasi sekarang harus memberi warna tidak boleh terbawa suasana. Deradikalisasi dilakukan BNPT sebagai pembinaan supaya turun radikalisasinya.
“Seperti teroris di Jalan Thamrin, Jakarta itu diberi jalan namun tidak paham konsep,” kata Irfan lagi.
Ia mengingatkan, tafsiran moderat jangan dibiarkan. Potongan ayat dan hadist dijadikan satu kitab supaya apa yang dilakukan benar. Jihad untuk orang hidup bukan untuk orang mati.
“Pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Contohnya, mahasiswa yang tidak belajar agama, terus dijemput oleh ustad yang menyebut pahamnya paling baik,” tegasnya.
Deputi Deradikalisasi BNPT Prof Irfan mengatakan, mulai banyak yang mengatasnamakan agama dengan tujuan politik. Masalah agama, selain kejahatan ekonomi juga politik.
“Ada pihak yang ingin merubah bangsa jadi negara agama,” katanya.
Irfan mengungkapkan, teroris dapat ditanggulangi. Kehebatan aparat keamanan di Indonesia diakui. Justru mencegah yang sangat berpengaruh menghalau terorisme.
“Hanya melalui media dicegah. Media hadir mencerdaskan dan mengkritisi masyarakat,” imbuhnya.
Diungkapkan, teroris adalah anak kandung dari radikalisme. Karena radikalisme kemudian lahir para teroris.
“Teroris sudah pasti radikal, namun yang radikal belum tentu teroris,” ucapnya.
Berpikir radikal, lanjutnya, ada tiga hal yang muncul objektif, sistematis, dan universal. Negatifnya ketika ada tambahan isme dalam radikal yang artinya paham.
“Radikal berpikir boleh, tapi ketika menjadi paham itu harus dilawan, ” imbuhnya.
Di Indonesia, kata Irfan, bila digabungkan seluruh agama, harusnya Indonesia adalah negara paling damai. Pancasila adalah bonus terbesar negeri ini. Bahasa Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai ditinggalkan.
“Kontrapropaganda tidak bisa lari dari kemajuan zaman. Generasi sekarang harus ikut arus tapi jangan terbawa arus,” tandasnya.
Ditambahkan, generasi sekarang harus memberi warna tidak boleh terbawa suasana. Deradikalisasi dilakukan BNPT sebagai pembinaan supaya turun radikalisasinya.
“Seperti teroris di Jalan Thamrin, Jakarta itu diberi jalan namun tidak paham konsep,” kata Irfan lagi.
Ia mengingatkan, tafsiran moderat jangan dibiarkan. Potongan ayat dan hadist dijadikan satu kitab supaya apa yang dilakukan benar. Jihad untuk orang hidup bukan untuk orang mati.
“Pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Contohnya, mahasiswa yang tidak belajar agama, terus dijemput oleh ustad yang menyebut pahamnya paling baik,” tegasnya.
Komentar
Posting Komentar