Menanamkan kebanggaan diri akan sesuatu hal bukanlah hal yang gampang. Sangat sulit. Sama seperti sulitnya menanam padi di musim kering. Perlu kesabaran dan ketekunan untuk memupuk dan mengairi.
Demikian juga dengan kebanggaan diri seseorang. Perlu ditumbuhkan. Sedikit demi sedikit. Memerlukan waktu dan kesabaran untuk bertumbuh. Dan saat sudah bertumbuh, diperlukan ketekunan untuk memeliharanya agar tidak menjadi lalu.
Demikian juga kebanggaanku akan negeriku, Indonesia. Aku menumbuhkannya, sedikit demi sedikit. Lewat pengalaman-pengalaman yang kulalui selama ini. Dan aku sekarang bisa mengatakan, “Aku sekarang sangat bangga menjadi orang Indonesia.”
Demikian juga dengan kebanggaan diri seseorang. Perlu ditumbuhkan. Sedikit demi sedikit. Memerlukan waktu dan kesabaran untuk bertumbuh. Dan saat sudah bertumbuh, diperlukan ketekunan untuk memeliharanya agar tidak menjadi lalu.
Demikian juga kebanggaanku akan negeriku, Indonesia. Aku menumbuhkannya, sedikit demi sedikit. Lewat pengalaman-pengalaman yang kulalui selama ini. Dan aku sekarang bisa mengatakan, “Aku sekarang sangat bangga menjadi orang Indonesia.”
Sekarang baru merasa bangga? Kemarin-kemarin? Ah... agak malu juga aku untuk menceritakannya.
Terus terang saja, sebelum tahun 2014, aku sama sekali tidak merasa bangga dengan negaraku. Mungkin Anda akan menganggap saya tidak nasionalis. Tidak nasionalis karena merasa tidak bangga menjadi orang Indonesia.
Silahkan menganggap saya demikian. Saya tidak akan menanggapinya. Tapi yang jelas, saat bepergian ke luar negeri untuk seminar, saya menuliskan data-data saya. Negara saya. Indonesia.
Saya hanya merasa tidak bangga menjadi orang Indonesia. Saat itu, ya. Ingat, sebelum 2014.
Saya masih teringat dengan pengalaman saya yang sangat membekas sampai sekarang. Mungkin semacam pengalaman traumatik nasionalisme. Namanya aneh, ya? Memang.... Itu karangan saya sendiri. Jadi jangan diprotes kalau istilah itu tidak ada di dalam kamus kedokteran manapun.
Saat itu, tahun 2010, saya berkesempatan pergi ke Makau. Saya jalan-jalan ke reruntuhan Gereja Santo Paulus. Reruntuhan yang memang betul-betul tinggal reruntuhan. Karena memang tinggal tembok depan Gereja yang masih utuh, sementara dalemannya sudah tidak ada.
Kami ngobrol-ngobrol menggunakan Bahasa Indonesia. Tiba-tiba, seseorang menghampiri saya. Dia mengajak ngobrol menggunakan Bahasa Indonesia dengan sedikit logat Melayu. Saya pikir dia dari Sumatera.
Setelah lama ngobrol, dia bertanya ke saya, “Dari mana?”
Saya jawab, “Dari Jogja.”
Dia mengerutkan kening. Lalu saya tambahkan lagi, “Indonesia.”
Dia hanya menjawab singkat, “O... dari Indonesia. Saya dari Malaysia.” Dan dia berlalu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dan dia tidak tersenyum meskipun kami berpapasan. Seakan-akan kami tidak pernah bercakap-cakap.
Saya terpana. Marah. Merasa dilecehkan. Ingin kuteriakkan, “Aku punya kenalan seorang pangeran dari Negeri Sembilan. Aku punya kenalan seorang profesor di University of Malaya.” Tapi apa gunanya? Dia tidak akan mendengarkan. Dan dia juga tidak akan pernah bercakap-cakap lagi.
Pulangnya, saya tidak memakai kaos yang bertuliskan Indonesia. Saya memakai kaos the Philippines. Kebetulan saya membawa banyak kaos seperti itu. Plus, wajah saya yang sedikit putih membuat saya lebih pas sebagai orang Filipina. Hahaha....
Tapi semuanya berubah semenjak tahun 2014. Bagi saya, tepatnya mulai tahun 2015. Pembangunan infrastruktur besar-besaran yang meningkatkan perkembangan perekonomian Indonesia membuat saya beralih hati.
Terlebih semenjak saya tinggal di China, pertengahan tahun 2016 yang lalu. Perasaan bangga itu melambung tinggi. Seperti seorang perjaka yang lama menjomblo lalu jatuh cinta. Perasaannya melambung tinggi. Hahaha... lebay ya? Biarin...
Betapa tidak melambung tinggi? Saat saya membeli sepeda untuk keperluan transportasi pribadi saya, sepasang suami istri tua bertanya kepada saya. “Dari mana asalnya?”
Saya jawab, “Indonesia.”
Mereka serentak berkata, “Oh... Indonesia.” Dan apa yang mereka lakukan? Mereka mengangkat 2 jempol mereka ke atas. “Indonesia, hebat.” Sambil tangan mereka tak henti-hentinya mengacungkan 2 jempol mereka. Jadinya ada 4 jempol yang saya terima dari mereka.
Saya tidak tahu apa yang membuat mereka mengatakan hal seperti itu. Dan saya kelihatannya juga tidak perlu tahu. Yang jelas saya rasakan adalah adanya kebanggaan di dada ini. Dan sering kali kebanggaan itu tidak perlu alasan dan data yang kuat.
Kadang satu hal kecil saja dapat membuat kita sangat berbangga. Dan itu tidak perlu data karena data bisa saja mengurangi kadar kebanggaan kita.
Misalkan saja, ada orang yang mengatakan kita tampan. Atau cantik. Kita tidak perlu data untuk merasa bangga atas ketampanan atau kecantikan kita. Karena kalau ada data yang diajukan, mungkin dari 1000 orang, ternyata hanya 1 orang yang mengatakan kita cantik atau tampan. Apakah hal itu mengurangi kadar kebanggaan kita? Mungkin ya. Mungkin juga tidak.
Dan satu orang yang membuat saya begitu bangga menjadi orang Indonesia adalah Pakdhe Jokowi, Presiden kita sekarang ini. Pembangunan yang beliau lakukan di seluruh Indonesia, membuat perekonomian kita diakui oleh bangsa-bangsa lain.
Dan yang membuatku semakin bangga adalah keberanian beliau untuk bertindak tanpa ragu-ragu. Saat terjadi sengketa yang agak panas di Laut Natuna Utara, beliau berdiri di barisan paling depan. Berdiri di geladak kapal perang kita.
Pihak mana yang tidak ketar-ketir melihat Presiden RI berdiri di barisan paling depan kapal perang. Sedikit gesekan saja pasti akan menimbulkan perang. Dan Pakdhe Jokowi tidak takut akan kemungkinan itu karena beliau yakin seluruh rakyat Indonesia berdiri di belakang beliau dan mendukung semua tindakannya.
Dan yang paling baru adalah keberanian beliau untuk mengecam Amerika atas keputusan sepihak Presiden Amerika, Donald Trump, yang memutuskan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Pernyataan beliau bukan sekedar ungkapan prihatin atas keputusan sepihak tersebut.
Pernyataan Pakdhe Jokowi langsung, tanpa memakai basa-basi. “Indonesia mengecam keras.... dan meminta Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.” Langsung karena berada di poin pertama. Keras. Tegas. Tanpa basa-basi. Pertaruhan yang sangat besar.
Itulah Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia saat ini. Presiden RI ke-7. Saya sudah mengalami hidup di bawah 6 Presiden. Baru kali inilah, saya sungguh sangat bangga dengan Presiden saya. Dan membuat saya sungguh sangat bangga menjadi orang Indonesia.
Bangga karena orang lain di luar sana, yang mungkin belum pernah menginjakkan kaki mereka di Indonesia, bisa memuji Indonesia. Lalu mengapa kita sendiri tidak memuji negara kita? Mengapa kita tidak memuji kinerja Presiden kita? Kalau tidak bisa memuji, atau tidak bisa mendukung, lebih baik diam. Atau angkatlah jempol anda untuk negara kita. Dan dukunglah Presiden kita untuk dua periode..
Komentar
Posting Komentar