Gara-gara ILC (Indonesia Lawyers Club) tempo hari, orang ribut lagi soal Khilâfah. Untuk sementara, kita tidak usah bantahan dalil. Anggap saja kita setuju Khilâfah karena dalil-nya qath’î, tak terbantahkan. Begitu juga riwayat soal panji dan bendera Nabi, semua cocok dengan keyakinan Hizbut Tahrîr (HT). Langkah berikutnya, bagaimana Khilâfah diwujudkan? Agar diskusinya tidak mengawang-awang, mari kita perhitungkan kemungkinan caranya.
Pertama, agenda HT adalah menegakkan sistem politik, karena itu—meski bermotif agama—perjuangan HT adalah perjuangan politik. Tahun 1953, Syeikh Taqyuddin Nabhani sudah merintis jalan yang tepat: bikin partai. Namanya Partai Pembebasan atau bahasa Arabnya Hizbut Tahrîr (HT). (Note: jangan caci pendiri HT karena beliau cucu Syeikh Yusuf bin Ismail Nabhani, ulama sunni Syâfi’î—menurut salah satu sumber—salah seorang guru Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari). HT memang partai dengan tujuan politik yaitu menegakkan sistem politik Islam bernama Khilâfah. Namanya partai harus ikut pemilu. Tetapi aneh, HT dan cabang-cabangnya, termasuk Hizbut Tahrîr Indonesia (HTI), menolak pemilu karena anggapan pemilu adalah produk demokrasi sekuler-kafir.
Kalau partai tidak mau ikut pemilu, apa bedanya dengan Karang Taruna? Kalau menolak pemilu, mandat bikin Khilâfah dari mana? Jatuh dari langit? Dulu para Nabi, seperti Nabi Dawud, diangkat sebagai Khalîfah, SK-nya langsung dari langit: يا داود إنّا جعلناك خليفة في الأرض (QS. Shad/38: 26). Sejarah mencatat, Nabi Dawud adalah Nabi sekaligus Raja. Nabi Ibrahim juga diangkat sebagai imam, SK-nya dari langit: إِنِّي جاعلك للنّاس إماما (QS. al-Baqarah/2: 124), tetapi Ibrahim Nabi yang bukan Raja. Sekarang kalau HT mau angkat Khalîfah, misalnya Syeikh Ata Abu Rashta, Amir HT yang bermukim di London, sarjana teknik sipil lulusan Universitas Kairo, mandatnya dari mana? Wahyu sudah tidak lagi turun. Satu-satunya mandat dari bumi. Kalau mandatnya dari bumi, jalannya adalah syûra dalam berbagai bentuk. Jalan syûra ini pula yang ditempuh khulafâ’ rasyidûn. Kitab al-Ahkâm as-Sulthâniyah karya al-Mâwardî mencatat pembaruan mandat dari satu Khalîfah ke Khalîfah lain mengambil beragam bentuk: mula-mula syûrâ , kemudian wasiat, lantas ahlul hall wal ‘aqd, kemudian baiat. Meski beragam, tetapi simpulnya adalah cara sipil beradab: musyawarah. Setelah periode khulafâ’ rasyidûn, kekuasaan diperebutkan dengan cara berdarah, kudeta, kemudian diwariskan turun temurun melalui dinasti. Prinsip syûra ditinggalkan.
Sekarang HT mau pilih mana? Bentuk syûra zaman now adalah demokrasi parlementer. Rekrutmen kepemimpinannya melalui pemilu. Kalau menolak pemilu, terus cara mengangkat Khalîfah-nya bagaimana? Apa para pemimpin negara-negara Islam itu mau berunding dan kemudian demi Khilâfah mereka rela ‘turun kelas’ menjadi Amîr atau gubernur dan mengangkat Khalîfah sebagai pemimpin tertinggi? Mana mungkin! Menetapkan siapa Khalîfah-nya dan di mana ibu kotanya sudah bisa bikin orang ‘berkelahi.’ Karena itu pula, Kongres Khilâfah di Kairo Mei 1926 kandas. Upaya restorasi Khilâfah dalam Kongres Islam di Jerusalem, Desember 1931, juga tidak menghasilkan apa-apa.
Kalau HTI menolak pemilu, cara lainnya adalah kudeta. Ini juga mustahil, karena HTI tidak punya milisi. Kalau tidak punya milisi, cara lainnya adalah menggandeng militer. Nampaknya cara ini paling masuk akal. Beberapa waktu lalu, sebelum dibubarkan, HTI meminta TNI mengambil alih kekuasaan. Corong propaganda mereka menyanjung-nyanjung Panglima TNI sebagai prajurit pro-Islam. Yang paling masuk akal ini juga sulit. Saya yakin, TNI pro NKRI harga mati! Berbagai jalan nampaknya buntu. Cara lain ditempuh: kampanye anti-rezim sekuler. Tujuannya membusukkan rezim dan memancing tensi sosial. Begitu masyarakat terbelah, orang siap berkelahi dan menghunus pedang. Lantas terjadi kerusuhan, saling bunuh sesama ahlul qiblat. Ini yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika. Lumat, luluh lantak! Dan begitu skenario ini dilakukan, politik semacam ini sudah sangat tidak Islami. Mengambil alih kekuasaan secara berdarah mengingkari prinsip syûra di dalam Islam.
Kedua, andai saja kekuasaan Khilâfah berhasil ditegakkan, lantas dibentuk pemerintahan Islam, terus diterapkan hukum Islam, hukum Islam versi siapa? Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, sebagian di antaranya berisi hukum. Hukum yang tertuang di dalam al-Qur’an bersifat mujmal (pokok-pokok), tidak rinci (mufasshalât). Sunnah berfungsi menjelaskan al-Qur’an (QS. an-Nahl/16: 44). Ucapan, tindakan, dan penetapan Nabi dikodifikasi di dalam kitab hadis. Para ulama berselisih tentang validitas hadis, karena itu muncul musthalahul hadîts, disiplin ilmu untuk menyaring kesahihan hadis.
Para ulama berselisih tentang kedudukan hadis di dalam hukum. Imam Hanafi, yang hidup di Persia dan jauh dari pusat Islam di Mekkah-Madinah, lebih memilih menggunakan akal (mashlahah) ketimbang hadis yang tidak betul-betul sahih dengan derajat periwayatan mutawâtir. Imam Syafi’i menerima hadis âhâd sebagai sumber hukum, asal rawinya tidak cacat (tsiqah, âdil, dlâbith) dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Qunut subuh, misalnya, adalah produk ijtihad Imam Syafi’i dari hadis âhâd. Ternyata para ulama berbeda pendapat tentang syariah. Jangan bayangkan syariah itu seperti KUHP yang tunggal dan monolitik. Kenapa? Karena sebagian besar adalah produk ijtihad ulama. Imam Juwayni dalam kitab al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh menyatakan: أن معظم الشريعة صدر عن الاجتهاد، والنصوص لا تفي بالعشر من معشار الشريعة (Sebagian besar hukum Islam (syariah) itu produk ijtihad, karena nash yang berkaitan dengan hukum tidak sampai sepersepuluh).
Ternyata hukum Islam banyak versi, tertuang dalam ribuan jilid kitab fikih dari berbagai madzhab. Terus HTI mau pakai yang mana? Madzhab Hanbali yang lebih tekstualis? Apa umat Islam lain mau, seperti mayoritas Muslim Indonesia yang mengikuti madzhab Syafi’î? Kalau tidak mau, apa bisa dipaksa? Bisa, seperti di Arab Saudi. Tetapi, begitu dipaksa, cara ini sudah keluar dari semangat Islam yang menghargai perbedaan pendapat di antara para Imam. Buntu lagi! Kalau begitu, bikin kompilasi hukum Islam dari berbagai madzhab. Apa mungkin? Mungkin saja, tetapi sulit. Berbagai madzhab lahir karena metode ijtihad yang berbeda di dalam memahami al-Qur’an-Hadis. Ijmâ’ dalam perkara furu’ sulit tercapai. Karena itu, para imam memilih menghormati perbedaan ketimbang menyeragamkan pandangan.
Dari dua cara ini saja HT, termasuk HTI, kesulitan menemukan jalan keluar. Mungkin derajatnya lebih tinggi lagi: kemustahilan. Perkara tata cara salat saja orang Islam berbeda, apa lagi urusan tata negara yang pelik, yang berhubungan dengan siapa dapat apa. Karena itu, saya mengajak para pemuka HTI untuk realistis. Anggap saja peserta gerakan 212 itu jumlahnya 7,2 juta dan semunya pro-Khilafah. Jumlah itu, anggap saja benar, besar sekali. Jika dikonversi dengan perolehan suara partai pada pemilu 2014, HTI bisa lolos threshold, menempati posisi di bawah PPP (8,1 juta), di atas Hanura (6,6 juta). Mungkin HTI bisa menguasai 30 kursi, tergantung sebaran suara. Dengan cara itu, HTI bisa secara lebih gentle memperjuangkan syariat Islam melalui legislasi di DPR. Jika dukungan rakyat makin besar, dan seluruh kursi parlemen berhasil direbut, tinggal perintah MPR untuk amandemen konstitusi. Beres! Soal bagaimana di DPR, itu dinamika politik. Begitu jadi parpol dan punya kursi di DPR, mungkin HTI bisa lebih terbuka seperti PKS. Partai dakwah ini saya dengar mulai mengumandangkan politik kebangsaan, lebih realistis, dan pragmatis. Ini tentu saja jika HTI yakin umat Islam mendukung mereka, sekaligus alat ukur seberapa besar mereka didukung umat Islam. Sebagai informasi, dari sekian kontestan pemilu 2014, partai pengusung formalisasi syariah Islam tinggal satu: PBB (Partai Bulan Bintan). Berapa perolehan suaranya? 1,8 juta (1,46 persen). Dia tidak lolos threshold.
Jika HTI menolak cara demokrasi ini, kita tidak punya batu uji lain untuk menilai klaim HTI tentang umat Islam. Selama ini, HTI, FPI, dan kelompok sejawat selalu mengklaim umat Islam. Yang tidak setuju dengan mereka dianggap anti-Islam. Pertanyaannya, Islam yang mana? Jumlah orang Islam Indonesia sekitar 200 juta. Hanya sebagian kecil yang berangkat ke 212 atau setuju Khilâfah. Kalau HTI realistis dan bikin parpol—namanya tentu saja bukan HTI karena sudah dilarang—menjadi jelas peta kekuatan mereka. Address Islam-nya membumi. Jika mereka sebut orang anti-Islam, maksudnya berarti anti-Islam yang jumlahnya 7,2 juta itu, bukan seluruh umat Islam.
Jika HTI menolak saran ini, lebih baik berhenti ‘menjual’ ilusi yang tidak tidak realistis. Daripada memikirkan Khilâfah yang jauh di angan, mending berpikir memajukan Indonesia dengan ilmu dan amal. Kita tetap bisa menjalankan syariat Islam, meskipun tanpa negara Islam atau Khilâfah Islâmiyah.
M Kholid Syeirazi
Komentar
Posting Komentar