Bogor - Pesantren Ibnu Mas’ud di Bogor, Jawa Barat, menjadi sorotan media-media asing. Sebab, pesantren itu diduga menjadi basis kaderisasi bagi gerombolan ISIS yang berperang di Suriah dan Irak. Bahkan, ada santrinya yang masih kanak-kanak ikut berperang.
Hatf Saiful Rasul baru berusia 11 tahun ketika ia meminta izin sang ayah untuk pergi ke Suriah, bergabung dan berperang di bawah bendera kekhalifahan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Hatf mengutarakan keinginannya itu kala mengunjungi sang ayah, yang mendekam dalam penjara berkeamanan maksimum, saat masa libur belajar di sebuah pesantren di daerah Pesantren Ibnu Mas’ud, Bogor, Jawa Barat.
Begitulah pengakuan sang ayah, Syaiful Anam, yang mencatat kisah tersebut dan memublikasikannya melalui laman daring, dan dikutip oleh worldnewsml.com.
“Kali pertama, aku tak merespons permintaannya itu. Kukira, dia hanya bercanda,” tulis sang ayah.
“Tapi, pikiranku langsung berubah, ketika Hatf terus menerus meminta izin untuk pergi ke Suriah,” tambahnya.
Untuk meyakinkan sang ayah bahwa dia akan baik-baik saja di medan perang, Hatf menuturkan sejumlah santri dan gurunya di Pesantren Ibnu Mas’ud juga ikut berperang dengan ISIS di Suriah.
Mendengar pengakuan Hatf, Syaiful akhirnya merestui putra kecilnya itu pergi ke medan perang yang bak neraka di Suriah.
Ia lantas mendeskripsikan bahwa pesantren tempat anaknya menimba ilmu itu adalah “kamerad (teman perjuangan) seideologis dengan kami.”
Hatf pergi ke palagan Suriah bersama kelompoknya tahun 2015. Di Suriah, ia digabungkan bersama gerombolan asal Prancis oleh komandan ISIS.
Ia tak lama berperang. Haft tewas terkena serangan udara militer Bashar Al Assad, di Kota Jarabulus, 1 September 2016, satu tahun setelah pergi ke Suriah.
“Tubuh kecilnya dihancurkan bom. Aku tak merasa sedih atau kehilangan, karena Insya Allah, putraku mati syahid,” tukasnya.
“Tapi sebagai seorang ayah, ada kesedihan terbatas yang kurasakan. Kesedihan yang sama seperti ayah-ayah lainnya yang telah kehilangan anak tercintanya,” tambahnya.
Dalam penelusuran jurnalis Reuters berdasarkan dokumen resmi pemerintah dan wawancara dengan aparat kontraterorisme serta mantan jihadis, Haft adalah satu dari 12 orang dari Pesantren Ibnu Mas’ud yang pergi ke Suriah pada periode 2013-2016. Dari 12 orang itu, 8 di antaranya guru dan 4 murid.
Namun, Jumadi, Juru Bicara Pesantren Ibnu Mas’ud, membantah pesantrennya merupakan basis pendukung ISIS ataupun kelompok militan lainnya yang menginterpretasikan Islam secara radikal.
Ia mengakui Hatf pernah menjadi santri di pesantrennya. Namun, Jumadi mengklaim tak tahu aktivitas Haft setelah keluar dari sekolah tersebut.
Jumadi juga menuturkan tak mengetahui adanya staf dan mantan santri lainnya yang pergi ke Suriah untuk berperang di pihak ISIS.
Ia juga menjawab secara diplomatis ketika dipertanyakan sikap pesantren terhadap gerakan Islam fundamentalis yang memilih jalan peperangan.
“Tentang hal itu, perlu diskusi lebih lanjut untuk menjawabnya,” tukasnya.
Tak Terdaftar
Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI mengungkapkan, Pesantren Ibnu Mas’ud tidak terdaftar dalam buku registrasi.
“Pesantren Ibnu Mas’ud tak pernah teregistrasi sebagai pesantren,” tegasnya.
Ia mengatakan, pernah meminta pengurus Pesantren Ibnu Mas’ud untuk menjelaskan status pendidikan yang diterapkan. “Tapi, mereka tak pernah merespons permintaan itu,” tukas Amin.
Hal tersebut diakui oleh Jumadi. Ia mengatakan, pesantrennya tak mengikuti peraturan pemerintah.
“Kami tak memunyai kurikulum (pemerintah). Sebab, kami fokus belajar tahfiz, menghafal Alquran dan Hadis. Kami mengajarkan santri Bahasa Arab, keyakinan, dan sejarah Islam,” terangnya.
Hatf Saiful Rasul baru berusia 11 tahun ketika ia meminta izin sang ayah untuk pergi ke Suriah, bergabung dan berperang di bawah bendera kekhalifahan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Hatf mengutarakan keinginannya itu kala mengunjungi sang ayah, yang mendekam dalam penjara berkeamanan maksimum, saat masa libur belajar di sebuah pesantren di daerah Pesantren Ibnu Mas’ud, Bogor, Jawa Barat.
Begitulah pengakuan sang ayah, Syaiful Anam, yang mencatat kisah tersebut dan memublikasikannya melalui laman daring, dan dikutip oleh worldnewsml.com.
“Kali pertama, aku tak merespons permintaannya itu. Kukira, dia hanya bercanda,” tulis sang ayah.
“Tapi, pikiranku langsung berubah, ketika Hatf terus menerus meminta izin untuk pergi ke Suriah,” tambahnya.
Untuk meyakinkan sang ayah bahwa dia akan baik-baik saja di medan perang, Hatf menuturkan sejumlah santri dan gurunya di Pesantren Ibnu Mas’ud juga ikut berperang dengan ISIS di Suriah.
Mendengar pengakuan Hatf, Syaiful akhirnya merestui putra kecilnya itu pergi ke medan perang yang bak neraka di Suriah.
Ia lantas mendeskripsikan bahwa pesantren tempat anaknya menimba ilmu itu adalah “kamerad (teman perjuangan) seideologis dengan kami.”
Hatf pergi ke palagan Suriah bersama kelompoknya tahun 2015. Di Suriah, ia digabungkan bersama gerombolan asal Prancis oleh komandan ISIS.
Ia tak lama berperang. Haft tewas terkena serangan udara militer Bashar Al Assad, di Kota Jarabulus, 1 September 2016, satu tahun setelah pergi ke Suriah.
“Tubuh kecilnya dihancurkan bom. Aku tak merasa sedih atau kehilangan, karena Insya Allah, putraku mati syahid,” tukasnya.
“Tapi sebagai seorang ayah, ada kesedihan terbatas yang kurasakan. Kesedihan yang sama seperti ayah-ayah lainnya yang telah kehilangan anak tercintanya,” tambahnya.
Dalam penelusuran jurnalis Reuters berdasarkan dokumen resmi pemerintah dan wawancara dengan aparat kontraterorisme serta mantan jihadis, Haft adalah satu dari 12 orang dari Pesantren Ibnu Mas’ud yang pergi ke Suriah pada periode 2013-2016. Dari 12 orang itu, 8 di antaranya guru dan 4 murid.
Namun, Jumadi, Juru Bicara Pesantren Ibnu Mas’ud, membantah pesantrennya merupakan basis pendukung ISIS ataupun kelompok militan lainnya yang menginterpretasikan Islam secara radikal.
Ia mengakui Hatf pernah menjadi santri di pesantrennya. Namun, Jumadi mengklaim tak tahu aktivitas Haft setelah keluar dari sekolah tersebut.
Jumadi juga menuturkan tak mengetahui adanya staf dan mantan santri lainnya yang pergi ke Suriah untuk berperang di pihak ISIS.
Ia juga menjawab secara diplomatis ketika dipertanyakan sikap pesantren terhadap gerakan Islam fundamentalis yang memilih jalan peperangan.
“Tentang hal itu, perlu diskusi lebih lanjut untuk menjawabnya,” tukasnya.
Tak Terdaftar
Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI mengungkapkan, Pesantren Ibnu Mas’ud tidak terdaftar dalam buku registrasi.
“Pesantren Ibnu Mas’ud tak pernah teregistrasi sebagai pesantren,” tegasnya.
Ia mengatakan, pernah meminta pengurus Pesantren Ibnu Mas’ud untuk menjelaskan status pendidikan yang diterapkan. “Tapi, mereka tak pernah merespons permintaan itu,” tukas Amin.
Hal tersebut diakui oleh Jumadi. Ia mengatakan, pesantrennya tak mengikuti peraturan pemerintah.
“Kami tak memunyai kurikulum (pemerintah). Sebab, kami fokus belajar tahfiz, menghafal Alquran dan Hadis. Kami mengajarkan santri Bahasa Arab, keyakinan, dan sejarah Islam,” terangnya.
Komentar
Posting Komentar