Sentimen Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) adalah penyakit sosial yang telah hidup selama
berabad-abad dan akan terus menghantui kehidupan kita jika kita tidak
membasminya sekarang juga. Bahkan sentimen SARA merupakan salah satu penghancur persatuan bangsa. Hal itu terbukti saat ini, dimana kondisi perpolitikan jelang pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terutama di DKI Jakarta intensitas penggunaan sentimen SARA semakin tinggi. Dampaknya persatuan bangsa Indonesia saat ini mulai goyah dan pesan kebencian terus menyebar dimana saja, dan yang terparah di dunia maya.
Menguatnya isu SARA di Indonesia belakangan ini tidak terlepas dari dinamika jelang pilkada serentak. Tetapi hal ini bukan hanya
dinamika politik yang tidak konstruktif, tapi juga sangat berbahaya. Penggunaan dan penyebaran sentiman
SARA di ruang publik belakangan semakin diwarnai ujaran kebencian.
Bahkan semakin menumpuk dan membiakkan benih-benih intoleransi di tengah
masyarakat. Dalam konteks ini
masyarakat didorong secara perlahan ke dalam sekat ikatan-ikatan sosial
primordial yang akan mengikis kebhinekaan yang menjadi fundamen dari
pendirian negara dan bangsa Indonesia.
Oleh karena
itu, elit politik dan publik secara umum mestinya
menyadari, bahwa pilkada sebagai bagian dari mekanisme politik demokrasi
merupakan kesempatan politik untuk memilih pemimpin terbaik di tingkat
lokal. Politisasi dan sentimen kebencian yang berbasis SARA harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Dan dipandang sangat penting aparat keamanan untuk bersikap netral dan
profesional. Pemihakan pada salah satu kandidat atau pemanfaatan
situasi politik untuk tujuan lain merupakan bentuk dari penyimpangan
profesionalitasnya harus dihindari.
Bahkan, bahaya sentimen SARA ini juga diutarakan oleh MUI, yang beberapa waktu terakhir dijadikan tameng oleh segelintir kelompok kepentingan untuk melakukan aksi demonstrasi provokasi umat Islam.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin
menyatakan kampanye dengan mengguna sentimen SARA pada Pilkada DKI 2017
sudah mengkawatirkan. Masyarkat diminta menahan diri untuk tidak
mengeksploitasi sentiment SARA dalam memberikan dukungan.
Ia menyatakan meskipun agama tidak bisa dipisahkan dengan politik, namun penggunaan sentimen SARA seharusnya tidak dilakukan dalam pesta demokrasi. Eksploitasi SARA hanya akan merusak citra agama. "Ini jangan dibiarkan. Saya tidak setuju ada eksploitasi walaupun agama dan politik tidak terpisahkan. Namun penggunaan sentimen SARA mengarah pada eksploitasi yang ekstrem," kata Din.
Menurut Din sentimen bisa merusak hubungan antar agama dan antar-etnis. “Saya harapkan jangan sampai hubungan etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia yang saat ini cair kemudian terganggu kembali akibat kampanye dalam Pilkada ini," ujar Din.
Pernyataan dari salah satu petinggi MUI ini merupakan salah satu dari sekian banyak keresahan para ulama dan tokoh di Indonesia yang tidak ingin Indonesia terpecah belah melalui sentimen SARA. Seharusnya seluruh masyarakat, terutama pengguna sosial media perlu cerdas dan cermat dalam mencerna seluruh informasi, terutama yang berkaitan dengan isu SARA. Perlu diingat bahwa sejarah berulang kembali (L'histoire se repete). Kita semua pasti tidak ingin perpecahan kembali terjadi saat penjajahan Belanda dahulu.
Oleh: Sony Sanjaya
Komentar
Posting Komentar