Ustadz
Sofyan Chalid Ruray
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ
أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ
بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa
yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan.
Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya
lalu sampaikan nasihatnya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang
diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban
(menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin
Ganm radhiyallahu’anhu, dishahihkan Al-Muhaddits Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul
Jannah: 1096]
Beberapa
Pelajaran:
1) Pesan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di dalam hadits yang mulia ini
benar-benar diamalkan oleh sebaik-baik generasi, yaitu para sahabat
radhiyallahu’anhum. Sahabat yang mulia Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma
berkata, dikatakan kepadanya,
أَلاَ
تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتُرَوْنَ أَنِّى لاَ
أُكَلِّمُهُ إِلاَّ أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِى
وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ
مَنْ فَتَحَهُ
“Tidakkah
engkau masuk menemui ‘Utsman untuk berbicara dengannya (menasihatinya), maka ia
berkata, “Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak berbicara kepadanya, kecuali
aku harus memperdengarkan kepada kalian?! Sesungguhnya aku telah berbicara
kepadanya ketika hanya antara aku dan dia saja, tanpa aku membuka satu perkara
yang aku tidak suka untuk membukanya pertama kali.” [HR. Al-Bukhari dalam
Shohih-nya (no. 3267) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2989), dan lafaz ini
milik Muslim]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata,
قوله قد
كلمته ما دون أن افتح بابا أي كلمته فيما أشرتم إليه لكن على سبيل المصلحة والأدب
في السر بغير ان يكون في كلامي ما يثير فتنة أو نحوها
“Ucapan
beliau (Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu), “Sungguh aku telah berbicara
dengannya tanpa aku membuka sebuah pintu” maknanya adalah, aku telah berbicara
kepadanya dalam perkara yang kalian maksudkan tersebut, akan tetapi dengan
jalan maslahat dan adab secara rahasia, tanpa ada dalam ucapanku sesuatu yang
dapat mengobarkan fitnah (kekacauan) atau semisalnya.” [Fathul Bari,
13/51]
Al-Imam
Al-Muhallab –rahimahullah- berkata,
أرادوا من
أسامة ان يكلم عثمان وكان من خاصته وممن يخف عليه في شأن الوليد بن عقبة لأنه كان
ظهر عليه ريح نبيذ وشهر أمره وكان أخا عثمان لأمه وكان يستعمله فقال أسامة قد
كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق
الكلمة
“Mereka
menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah
adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin
‘Uqbah, karena muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan,
sedang ia adalah saudara ‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya.
Maka Usamah berkata, “Sungguh aku telah berbicara kepadanya secara rahasia
tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah pintu mengingkari pemimpin secara
terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya persatuan.” [Fathul
Bari, 13/52]
2)
Sebaliknya, kaum Khawarij menyelisihi cara menasihati penguasa yang
diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan diamalkan para
sahabat ini. Tabi’in yang Mulia Sa’id bin Jumhan –rahimahullah- berkata,
أَتَيْتُ
عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ ، فَسَلَّمْتُ
عَلَيْهِ ، قَالَ لِي : مَنْ أَنْتَ ؟ فَقُلْتُ : أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ ،
قَالَ : فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : قَتَلَتْهُ الأَزَارِقَةُ ،
قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ،
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلاَبُ
النَّارِ ، قَالَ : قُلْتُ : الأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا
؟ قَالَ : بَلِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا . قَالَ : قُلْتُ : فَإِنَّ السُّلْطَانَ
يَظْلِمُ النَّاسَ ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ ، قَالَ : فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا
بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ، ثُمَّ قَالَ : وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ
عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ إِنْ كَانَ
السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا
تَعْلَمُ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ ، وَإِلاَّ فَدَعْهُ ، فَإِنَّكَ لَسْتَ
بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Aku pernah
mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah seorang
yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah
kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi
pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”.
Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat
Al-Azariqoh. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami
bahwa mereka dalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja
atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku
berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semana-mena
terhadap mereka”. Beliau pun menarik tanganku dengan keras seraya berkata,
“Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom
(Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah).
Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu
kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat darimu.
Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu
darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok
(no. 6435) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905), dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 905]
3)
Menasihati penguasa secara terang-terangan dengan aksi demonstrasi atau melalui
media massa, menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
para sahabat radhiyallahu’anhum. Asy-Syaikhul ‘Allaamah Abdul Aziz bin Baz
–rahimahullah- berkata,
فالنصح يكون
بالأسلوب الحسن والكتابة المفيدة والمشافهة المفيدة , وليس من النصح التشهير بعيوب
الناس , ولا بانتقاد الدولة على المنابر ونحوها , لكن النصح أن تسعى بكل ما يزيل
الشر ويثبت الخير بالطرق الحكيمة وبالوسائل التي يرضاها الله عز وجل
“Nasihat
hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang
berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia,
dan tidak pula mengeritik negara di mimbar-mimbar dan yang semisalnya. Akan
tetapi nasihat itu engkau curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan
mengokohkan kebaikan dengan cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang
diridhoi Allah ‘azza wa jalla.” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/306]
4) Melakukan
aksi-aksi perlawanan terhadap kebijakan pemerintah secara terang-terangan bukan
manhaj Salaf dan hanya mendatangkan kemudaratan, bukan kemaslahatan. Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata,
ليس من منهج
السلف التشهير بعيوب الولاة , وذكر ذلك على المنابر; لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم
السمع والطاعة في المعروف , ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع , ولكن الطريقة
المتبعة عند السلف : النصيحة فيما بينهم وبين السلطان , والكتابة إليه , أو
الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
“Bukan
termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan
menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada
kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang
ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat.
Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara
mereka dan pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau
menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan
kepada kebaikan.”[Majmu’ Al-Fatawa, 8/210]
5. Solusi
menghadapi pemerintah yang zalim, disamping memberi nasihat, bahkan ketika
nasihat juga tidak bermanfaat, atau pun tidak ada akses untuk menyampaikan
nasihat, maka hendaklah bersabar dan berdoa, tidak dibenarkan untuk melakukan
perlawanan dan menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
sahabat dalam menasihati. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى
مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa
yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah
ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya adalah mati
jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7054) dan Muslim dalam Shohih-nya
(no. 1849) dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Beliau
shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا
يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya
kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian
ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada
kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan
mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7052) dan
Muslim dalam Shohih-nya (no. 1843) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Dua Macam
Pemberontakan
Keluar,
memisahkan diri atau memberontak dan menentang penguasa muslim adalah perangai
Jahiliyah yang diadopsi kaum Khawarij, diharamkan dalam Islam, dan bentuknya
ada dua:
Pertama: Dengan senjata.
Kedua: Dengan kata-kata.
Dan yang
pertama tidak mungkin terjadi tanpa yang kedua, karena itulah demonstrasi
diharamkan dalam Islam, demikian pula mencela para penguasa di mimbar terbuka
atau di media massa dilarang dalam Islam.
Faqihul
‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
بل العجب أنه
وُجّه الطعن إلى الرسول صلى الله عليه وسلم ، قيل لـه : اعدل، وقيل لـه: هذه قسمة
ما أريد بها وجه الله. وهذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون بالسيف ويكون
بالقول والكلام، يعني: هذا ما أخذ السيف على الرسول صلى الله عليه وسلم، لكنه أنكر
عليه
ونحن نعلم
علم اليقين بمقتضى طبيعة الحال أنه لا يمكن خروج بالسيف إلا وقد سبقه خروج باللسان
والقول. الناس لا يمكن أن يأخذوا سيوفهم يحاربون الإمام بدون شيء يثيرهم، لا بد أن
يكون هنـاك شيء يثـيرهم وهو الكلام. فيكون الخروج على الأئمة بالكلام خروجاً
حقيقة، دلت عليه السنة ودل عليه الواقع
“Sangat mengherankan
tatkala celaan (terhadap pemerintah) itu diarahkan kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul
Khuwaisiroh). Dikatakan kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam, “Berlaku
adillah!” Juga dikatakan, “Pembagianmu ini tidak menginginkan wajah Allah!”
Maka ini adalah sebesar-besarnya dalil yang menunjukkan bahwa memberontak
kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa jadi pula dengan ucapan dan
kata-kata. Maksudnya, orang ini tidaklah memerangi Rasul -shallallahu’alaihi wa
sallam- dengan pedang, akan tetapi ia mengingkari beliau (dengan ucapan di
depan umum).
Kita tahu
dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan dengan
senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan ucapan.
Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa tanpa ada
sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi mereka,
yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan kata-kata
adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil As-Sunnah dan kenyataan.”
[Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]
Beberapa
Dampak Buruk Demonstrasi
1.
Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika
nasihat dalam demo tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan
semakin memprovokasi massa dan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat
Fathul Bari, 13/51-52)
2. Cara
mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan mengandung penentangan
terhadapnya (lihat Umdatul Qaari, 22/33, Al-Mufhim, 6/619)
3.
Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada
perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat Umdatul Qaari,
22/33)
4.
Mengakibatkan masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal yang baik (lihat
Haqqur Ro’i, hal. 27)
5.
Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat Al-Ajwibah
Al-Mufidah, hal. 99)
6. Menjadi
sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat Fathul Bari, 13/52)
7.
Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada
sahabat yang mulia Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu akibat demonstrasi kaum
khawarij (lihat Syarah Muslim, 18/118)
8.
Menghinakan sulthan Allah, yang telah Allah takdirkan sebagai penguasa muslim (lihat
As-Sailul Jarror, 4/556)
9. Munculnya
riya’ dalam diri pelakunya (lihat Madarikun Nazhor, hal.211)
10.
Mengganggu ketertiban umum
11.
Menimbulkan kemacetan di jalan-jalan
12. Merusak
stabilitas ekonomi
13. Tidak
jarang adanya ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita) ketika
demonstrasi, bahkan pada demo yang mereka sebut Islami sekali pun
14.
Menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat
15.
Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij) dan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.
وبالله
التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Komentar
Posting Komentar