Oleh: Farhan Pradipta (Jurnalis/Pemerhati Masalah Sosial
Politik)
Diawal 2017 ini, situasi sosial politik Indonesia
masih gaduh seiring dengan terus bergulirnya persidangan kasus penistaan agama
oleh Ahok. Meskipun eskalasinya menurun, geliat para netizen yang pro ataupun
anti Ahok masih terus menghiasi timeline sejumlah media sosial di Indonesia.
Ironisnya, perdebatan antara kedua kubu ini semakin mengkhawatirkan. Sebab
intoleransi antara umat beragama, serta sentimen SARA justru terus berkembang
secara ‘liar’. Bahkan permasalahan yang muncul saat ini semakin berkembang pada
konteks ‘hegemoni mayoritas mengekang minoritas’. Pemikiran-pemikiran tersebut
yang jika dibiarkan akan menjadi awal kehancuran bangsa Indonesia.
Pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi-JK mungkin
sudah menyadari hal ini. Namun, sebelum keluar kebijakan yang mampu mengcounter
hal tersebut justru muncul kebijakan yang membuat pemerintah semakin tersudut.
Seperti sejumlah kebijakan baru diawal tahun, seperti kenaikan tarif penerbitan
STNK, BPKB hingga BBM dan TDL justru dijadikan bahan ‘bully’ para netizen yang
antipati terhadap pemerintah. Sebelumnya tindakan aparat kepolisian yang
menangkap kelompok-kelompok teror pun menjadi bahan ‘bulan-bulanan’ para
netizen tersebut, bahkan dianggap sebagai pengalihan isu dari kasus Ahok.
Momentum
kebangkitan Kelompok Islam Radikal
Jika disadari dan dicermati, ditengah kegaduhan ini
upaya konsolidasi dan penguatan kelompok-kelompok anti pemerintah terus
berkembang. Terutama dari kelompok Islam Radikal yang ingin menurunkan
pemerintah saat ini dan merubah Indonesia menjadi ‘Negara Islam’. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kelompok ini yang mendapat ‘panggung’ dari fenomena nasional
ini. Keterlibatan umat Islam secara masif pada Aksi Bela Islam Jilid I, II dan
III dianggap sebagai keberhasilan mempersatukan umat se Indonesia. Hal tersebut
yang kemudian terus dieksploitasi di media sosial hingga media massa (cetak,
online dan TV).
Tetapi, pesan-pesan propaganda yang terus disebarkan
kelompok Radikal Islam ini khususnya di media sosial membuat suasana menjadi
semakin gaduh. Kasus persidangan Ahok pun saat ini tidak lagi menjadi topik
utama pada netizen di media sosial. Tuduhan keberpihakan pemerintah pada
‘Kafir’ dan ‘Taipan China’ terus mengemuka. Mulai dari uang keluaran baru yang
dituduh mirip uang negara China, keberadaan TKA ilegal asal China, serta adanya
simbol-simbol PKI yang dianggap menjadi tanda kebangkitan Komunis di Indonesia.
Pada akhirnya pemerintah Indonesia lah yang menjadi
sasaran utama kelompok ini. Dan kasus Ahok hanya dijadikan alat untuk mendulang
dukungan umat Islam Indonesia yang sejatinya lebih mengedepankan kedamaian. Hal
tersebut tidak mengada-ada dan terbukti dengan rencana untuk kembali melakukan
Aksi Bela Islam pada 11 Februari 2017 yang digadang-gadang menjadi momentum
Revolusi Islam di Indonesia.
Kondisi inilah yang perlu diketahui oleh seluruh umat
Islam Indonesia bahwa posisi Indonesia sebagai negara mayoritas umat Islam
terbesar di Dunia membuat kelompok Islam Radikal ini sangat ingin membuat
Indonesia menjadi ‘Negara Islam’. Dan yang menjadi pertanyaan, apakah umat
Islam ingin terus diperdaya oleh kepentiangan kelompok-kelompok Radikal
tersebut?? Apakah Rasulullah mengajarkan untuk menentang pemerintahan yang sejatinya
telah melindungi Islam???
Politik ‘Aji
Mumpung’
Kegaduhan yang terjadi saat ini tidak hanya
dimanfaatkan oleh kelompok Radikal Islam. Justru para elit-elit politik yang
memanfaatkan momentum ini untuk memperoleh kekuasaan. Bahkan Presiden Jokowi serta
jajaran kementrian yang berkaitan dengan keamanan telah menyinggung adanya
aktor politik dibalik memanasnya kasus Ahok. Dalam konteks ini pemerintah
tidaklah berpihak kepada kubu Ahok, tetapi lebih menekankan bahwa masyarakat
harus sadar dan tidak terpedaya oleh hasutan para politisi ini. Hanya saja
pemerintah terus menjadi objek penderita, akibatnya seluruh pernyataan yang
dikeluarkan tidak mampu meredam kegaduhan yang terjadi saat ini.
Jika melihat kebelakang, stabilitas ekonomi, politik
dan sektor lainnya selama kurun waktu 2 tahun terakhir mampu dibangun dengan
baik oleh pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi-JK. Dampaknya, gejolak
masyarakat pasca Pilres 2014 mulai mereda dan tingkat kepercayaan masyarakat
semakin meningkat kepada pemerintah. Menurut hasil survei CSIS, terjadi
peningkatan kepuasan terhadap Presiden Jokowi dari 50,6 persen pada Oktober
2015 menjadi 66,6 pada Agustus 2016. Tetapi situasi seketika berubah menjelang
Pilkada DKI Jakarta. Kedekatan Presiden Jokowi dengan Ahok dijadikan alat
politik para elit untuk mendeskreditkan pemerintah ketika kasus penistaan agama
oleh Ahok bergulir.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Pilkada DKI Jakarta tahun
2017 ini menjadi tolak ukur keberhasilan pada Pemilu 2019. Seluruh elit politik
sangat terlihat jelas berlomba-lomba mencari panggungnya masing-masing. Tetapi
dengan adanya kasus Ahok ini, para elit justru melakukan politik ‘aji mumpung’
untuk mendapat kekuasaan yang lebih besar yakni menargetkan lengsernya Presiden
Jokowi. Dengan segala cara para politikus ini untuk mencapai tujuannya. Salah satunya
mensponsori atau setidaknya mendekati kelompok-kelompok Islam Radikal untuk
bergerak menyerang pemerintah.
Pada akhirnya dua kepentingan dari kelompok Radikal
Islam dan para politisi oportunis saling memanfaatkan satu sama lain, dan masyarakat
Indonesia yang menjadi korban ditengahnya. Bahkan upaya untuk mempertahankan
nilai-nilai persatuan dan kebhinekaan malah diisukan sebagai tipu daya dan
di-counter dengan isu-isu yang menyesatkan masyarakat. Jika masyarakat
Indonesia terus terbawa arus kepentingan dua kelompok ini, maka bisa dipastikan
demokrasi konstitusional di Indonesia tidak akan bertahan.
Negara kita Indonesia, adalah negara dengan sejarah
panjang perjuangan. Telah beratus tahun kita dijajah dan dengan pertumpahan
darah kita berhasil memerdekannya. Tapi kini, lupakah kita atas jati diri kita
dan haruskah kita 'berjuang' melawan saudara sebangsa kita sendiri dengan
menyebar kebencian dan berteriak untuk menjatuhkan bangsa ini?. Sebelum saling
membenci menjadi budaya baru di negeri ini, ingatlah akan siapa diri kita. Oleh
karenanya, ditengah ujian berat bangsa ini maka sudah jelas menjadi tanggung
jawab seluruh elemen bangsa Indonesia untuk menjadikan negeri ini tetap tegak
berdiri di atas fondasi Pancasila dan UUD RI 1945, sebagaimana dicita-citakan
oleh para pendiri bangsa dan negara.
Komentar
Posting Komentar