Oleh: Jamil Wahab
Koentjaraningrat sudah sejak lama dalam bukunya "Manusia dan Kebudayaan" menulis adanya hubungan krusial antara adanya perbedaan dari beragam agama, suku, dan golongan di Indonesia yang bisa mengarah pada konflik. (1) jika warga negara bersaing untuk lapangan pekerjaan yang sama, (2) jika memaksakan kebudayaannya kepada yg berbeda, (3) jika memaksakan agamanya kepada yg berbeda, (4) jika suatu suku mendominasi suku bangsa lainnya.
Masih mengikuti teori diatas, konflik juga bisa terjadi, jika sebuah pemahaman (interpretasi) dipaksakan kepada pihak lain. Saat ini kita banyak menyaksikan rentetan peristiwa konflik di media, meski kualitasnya belum seperti konflik Ambon dan Poso, namun benih-benih dan bahan peledaknya sudah sangat kasat mata. Banyak pihak meneriakkan kebenaran menurut ukurannya sendiri, pihak lain balas meneriakkan kebenaran yang juga menurut ukurannya sendiri.
Segenap elemen bangsa (pemerintah, tokoh Ormas, LSM, akademisi, dan masyarakat) perlu mencari solusi, bagaimana mengantisipasi agar konflik eskalasinya tidak meningkat, baik dipicu isu agama, etnis, ekonomi, atau politik. Menarik pernyataan KH. Maemun Zubair saat ditanyai tentang bagaimana meredakan situasi yang mulai 'panas' saat ini. Beliau menjawab: "Semua pihak agar menahan diri".
Sungguh kita harus belajar dari pada pendahulu kita. HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Wahid Hasyim, Semaun, Agus Salim, Hatta, dan tokoh lainnya. Betapa rumitnya mempertemukan ideologi dan faham yang berbeda, namun mereka berhasil menyelesaikan perbedaan dengan menyepakati persamaan. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah adalah bahwa kepentingan bangsa lebih di dahulukan dari kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
*) Peneliti Balitbang Kemenag
Koentjaraningrat sudah sejak lama dalam bukunya "Manusia dan Kebudayaan" menulis adanya hubungan krusial antara adanya perbedaan dari beragam agama, suku, dan golongan di Indonesia yang bisa mengarah pada konflik. (1) jika warga negara bersaing untuk lapangan pekerjaan yang sama, (2) jika memaksakan kebudayaannya kepada yg berbeda, (3) jika memaksakan agamanya kepada yg berbeda, (4) jika suatu suku mendominasi suku bangsa lainnya.
Masih mengikuti teori diatas, konflik juga bisa terjadi, jika sebuah pemahaman (interpretasi) dipaksakan kepada pihak lain. Saat ini kita banyak menyaksikan rentetan peristiwa konflik di media, meski kualitasnya belum seperti konflik Ambon dan Poso, namun benih-benih dan bahan peledaknya sudah sangat kasat mata. Banyak pihak meneriakkan kebenaran menurut ukurannya sendiri, pihak lain balas meneriakkan kebenaran yang juga menurut ukurannya sendiri.
Segenap elemen bangsa (pemerintah, tokoh Ormas, LSM, akademisi, dan masyarakat) perlu mencari solusi, bagaimana mengantisipasi agar konflik eskalasinya tidak meningkat, baik dipicu isu agama, etnis, ekonomi, atau politik. Menarik pernyataan KH. Maemun Zubair saat ditanyai tentang bagaimana meredakan situasi yang mulai 'panas' saat ini. Beliau menjawab: "Semua pihak agar menahan diri".
Sungguh kita harus belajar dari pada pendahulu kita. HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Wahid Hasyim, Semaun, Agus Salim, Hatta, dan tokoh lainnya. Betapa rumitnya mempertemukan ideologi dan faham yang berbeda, namun mereka berhasil menyelesaikan perbedaan dengan menyepakati persamaan. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah adalah bahwa kepentingan bangsa lebih di dahulukan dari kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
*) Peneliti Balitbang Kemenag
Komentar
Posting Komentar