" Sebelum kasus Ahok bergulir, tren intoleransi kehidupan beragama sudah meningkat. Benarkah Indonesia bakal jadi Indonistan?"
Dalam dua
bulan terakhir, ulasan media asing terhadap Indonesia pada umumnya
mempertanyakan apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara yang toleran
dalam beragama? Apakah sebutan sebagai negeri di mana demokrasi dan Islam dalam
berjalan seiring secara harmoni masih valid?
Tulisan di laman The Economist, menjadi analisis paling anyar tentang
kekhawatiran dunia terhadap kian merebaknya intoleransi di Indonesia.
Kekhawatiran sebagian kita juga.
Yang menjadi
parameter dalam tulisan-tulisan berkaitan dengan ancaman terhadap toleransi
beragama di negeri ini adalah kasus dugaan penistaan agama yang menimpa
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok, yang tengah
berlaga di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, beragama Nasrani, dan menjadi
calon gubernur pertama yang berasal dari etnis Tionghoa.
Sebagian
pihak membangun konklusi, jika Ahok dinyatakan bersalah menista agama Islam,
berarti Indonesia tidak lagi menerapkan kemajemukan dan toleransi beragama.
Sebaliknya, jika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok
tidak menista agama, maka Indonesia bisa disebut lumayan toleran.
Mengapa saya
katakan lumayan toleran? Karena sebelum ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada
September lalu, kekhawatiran akan ancaman intoleransi di Indonesia sudah ada.
Data terbaru disampaikan dari hasil survei yang dilakukan oleh The Wahid
Foundation dan Lembaga Survei Indonesia pada Agustus 2016. Survei dilakukan
kepada 1.502 responden di 34 provinsi, pada Maret 2016.
Temuan
survei itu menyebutkan bahwa dari 207 juta populasi penduduk Muslim di
Indonesia, wajah Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran. Sebanyak
72 persen responden menolak tindakan radikal yang menyertakan kekerasan atas
nama agama.
Ada 88,37
persen percaya setiap warga negara bebas memeluk agama dan keyakinan sesuai
pikiran dan kesadarannya. Survei juga menemukan bahwa 65,35 persen berpendapat
negara harus melindungi setiap pemikiran yang berkembang di masyarakat.
Dukungan
kalangan Muslim Indonesia terhadap Pancasila dan nilai demokrasi ternyata
sangat tinggi. Sebanyak 82,3 persen responden menyatakan bahwa Pancasila dan
UUD 1945 amat sesuai bagi Indonesia. Survei mencatat ada 67,3 persen menyatakan
mendukung nilai demokrasi.
Masalahnya,
selain angka-angka yang membangun rasa optimisme itu, survei juga menemukan
tendensi menguatnya potensi intoleransi sosial keagamaan. Jika dibiarkan, hal
ini bisa merujuk kepada aksi radikalisme dengan kekerasan atas nama agama.
Proyeksi statistik survei memperkirakan ada 600 ribu jiwa pernah melakukan aksi
radikalisme atas nama agama. Sekitar 11 juta jiwa berpotensi melakukan bila ada
kesempatan.
Aksi
radikalisme yang dimaksud dalam survei mencakup pemberian dukungan dana atau
materi kepada organisasi radikal sampai melakukan penyerangan terhadap rumah
ibadah pemeluk agama lain. Perlu diingat bahwa ini adalah angka potensial hasil
proyeksi, bukan angka yang aktual.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada akhir Juni 2016 juga mengumumkan
meningkatnya jumlah pengaduan dugaan pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Menurut Komnas HAM, hal ini merupakan indikasi meningkatnya intoleransi.
Selain
survei dan rilis data sejumlah lembaga, diskusi di grup komunikasi dan status
di media sosial juga menggambarkan kekhawatiran tentang intoleransi. Benarkah
Indonesia akan menuju ke negara berdasarkan syariat Islam? Benarkah ada ancaman
bagi warga minoritas baik secara agama maupun etnis? Bahkan, ini nuansa
percakapan yang ekstrem, benarkah negeri ini akan menjadi Indonistan? Indonesia
dengan kehidupan seperti di Afghanistan?
Setelah demo
akbar 4 November dan aksi salat Jumat bersama pada 2 Desember silam,
pertanyaan-pertanyaan di atas menguat di kalangan sebagian masyarakat. Apalagi
yang muncul memimpin dua kegiatan dengan jumlah mobilisasi massa yang besar
itu, antara lain adalah sosok Rizieq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam
(FPI). Organisasi massa ini menuai kontroversi berkaitan dengan tindakan
bernuansa kekerasan yang pernah dilakukan selama ini.
Rizieq pernah
dihukum berkaitan dengan insiden Monas pada 2008. Ini salah satu insiden yang bernuansa
intoleransi. Kekhawatiran itu mendapat amplifikasi di media sosial dan menjadi
amunisi analisis bagi pengamat dan media asing.
Pertanyaan
untuk pemerintah
Bagaimana
dunia, melalui media, memotret kecenderungan menguatnya intoleransi ini saya
tanyakan kepada empat narasumber yang hadir dalam pertemuan dengan Forum
Pemimpin Redaksi, pada Rabu malam, 21 Desember, di sebuah hotel di Jakarta
Selatan. Pertemuan itu atas inisiatif bersama Forum Pemred dan Menteri
Komunikasi dan Informasi Rudiantara. Rudi mengajak serta Kapolri Jenderal Tito
Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Menteri Agama Lukman
Saifuddin.
Pertemuan
ini relevan dan pas waktunya karena kontroversi terkait “sosialisasi” fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang pemaksaan penggunaan atribut Natal masih bergulir.
Apakah
Bapak-bapak memiliki data intelijen yang menunjukkan bahwa kekhawatiran
menguatnya intoleransi itu valid? Dan jika benar, bagaimana tindakan pemerintah
untuk mengerem menguatnya intoleransi itu?
Pertemuan
Forum Pemred dengan narasumber sebagian besar memang menerapkan prinsip chattam
house rule alias tidak untuk dipublikasikan. Meskipun begitu, untuk
sebagian kami meminta agar informasi dapat diterbitkan. Nuansa yang saya
tangkap: mixed feelings.
Diskusi
sebenarnya mengonfirmasi apa yang selama ini sudah disampaikan di publik,
terutama dalam dua bulan terakhir. Ada fakta-fakta lapangan yang perlu
dicermati. Ada peristiwa-peristiwa yang menjadi indikasi potensi menguatnya
intoleransi.
Pemerintah
nampak gamang, terutama dalam menghadapi fenomena tsunami informasi di media
sosial. Tak jarang kalah langkah dan/atau justru memicu kontroversi baru
—bagaimana media sosial menjadi medium penting dalam mengamplifikasi konten
bermuatan ajakan paham radikal dengan kekerasan dan menyebarkan kebencian.
Dibahas juga
ancaman terhadap Indonesia dan keindonesiaan tidak hanya dari dalam negeri,
melainkan juga dari luar negeri. Situasi geopolitik di kawasan regional maupun
global, dan ancaman teroris yang kian marak dalam beberapa hari terakhir
menjadi perhatian penting. Disinggung pula hasil survei Wahid Foundation dan
LSI di atas.
Tapi juga
ada nuansa optimisme. Hey, Indonesia bukan cuma Jakarta. Kehidupan bukan cuma
di ranah media sosial yang kian hari makin “panas” dan penuh info palsu yang
menyesatkan dan menimbulkan keresahan.
Tidak semua
pengguna media sosial memanfaatkan medium ini untuk berkelahi karena perbedaan
pilihan politik atau debat nuansa agama. Banyak sekali anak-anak muda yang
memanfaatkan media sosial sebagai medium untuk berkreasi, menelurkan inovasi,
mendatangkan rezeki halal dari kegiatan itu, menggulirkan ragam perubahan
sosial, dan seterusnya.
Ada daerah
yang tensinya menghangat akibat tindakan main hakim sendiri yang dilakukan
kelompok yang mengaku ingin menegakkan fatwa MUI. Untuk yang melibatkan aksi
kekerasan, polisi tak segan menindak tegas. Seperti aksi “sweeping” di Solo. Tapi lebih banyak daerah yang
sebenarnya OK-OK saja. Kehidupan berjalan normal di mayoritas dari 514
kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Kita tak
boleh menganggap remeh berbagai indikasi intoleransi yang ada, tetapi jangan
juga terlalu mendramatisir keadaan. Begitu kira-kira kesimpulan yang saya dapat
dari pertemuan malam itu.
Permasalah saat ini tertuju pada peran media dan bagaimana mengelola media sosial agar konten
negatif bisa diimbangi dengan konten positif yang menenangkan, termasuk
mengklarifikasi informasi bohong atau hoax alias palsu.
Bagaimana
media arus utama harus berperan lebih besar sebagai kurator atas informasi hoax
yang beredar di media sosial, dan bukannya justru ikut arus dengan mengemas
ulang dan menyebarluaskan informasi palsu yang ada dengan alasan tertentu.
Termasuk jika itu berkaitan dengan afiliasi politik media yang bersangkutan.
Bagaimana
dengan lusinan analisis yang disampaikan media asing? Pertengahan tahun 90-an
kita membaca ratusan tulisan dengan analisis bahwa Indonesia dengan situasi
ekonomi yang kian terpuruk dan korupsi merajalela, bakal mengikuti apa yang terjadi
di Eropa Timur. Balkanisasi. Negeri yang terpecah, berkeping-keping menjadi
sejumlah negara baru. Nyatanya tidak. Sampai hari ini. TNI dan Polri memastikan
komitmen mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang kawan dengan
bercanda menyebut, NKRI fixed price. NKRI harga mati.
Tapi saya
sepakat bahwa kita tidak bisa menganggap remeh. Proyeksi angka 11 juta jiwa
yang akan melakukan aksi radikalisme atas nama agama jika ada kesempatan itu
bikin miris. Data usia para pelaku aksi terorisme yang kian muda menjadi salah satu bukti.
Beragam
rekomendasi sudah diberikan melalui berbagai survei yang ada. Memastikan dunia
pendidikan dan pendidiknya tidak menyisipkan paham intoleransi dan radikalisme
adalah hal yang mendesak dilakukan. Menangani masalah kesenjangan ekonomi dan
sosial perlu jadi prioritas.
Rasa
ketidakadilan bisa memicu sikap intoleran, bahkan berujung kepada aksi radikal
dengan kekerasan. Ketegasan pemerintah dan aparat, serta perlakuan adil dan
setara atas setiap pelanggaran hukum menjadi kunci meredam aksi intoleransi
bernuansa agama.
Mempromosikan
semangat keindonesiaan juga dianggap sebagai jawaban utama. Indonesia yang beragam,
berbeda-beda suku, agama, ras, dan pilihan politik. Nah, di sini tantangannya.
Komentar
Posting Komentar