Bagaimana sih sebenarnya kebenaran itu?,
mengapa banyak yang berantem dan merasa paling benar?, padahal kalau
sudah berantem bukan lagi kebenaran yang didapat tapi malah bisa
sama-sama bonyok alias sama-sama benjol. Atau pun kalau tidak berantem
secara fisik namun secara psikologis bisa terjadi masalah yang serius,
dan kalau ini dipelihara terus maka sungguh akan mendatangkan kerugian
yang sangat besar, yaitu ketidakharmonisan menjadi kekal, dan ketahuilah
ketidakharmonisan ini bisa merusak banyak sendi kehidupan, sehingga tak
perlu menunggu kiamat datang malah datang sendiri karena ulah
orang-orang yang berantem tadi.
Tapi kalau mengedepankan dialog dan
menggali hikmah, pastilah akan terasa meresap bagaimana menyikapi
perbedaan yang beragam ini. Dan sungguh kebenaran itu jelas ketika
menyadari dengan sebenarnya “diri” itu, bagaimana diri itu sebenarnya
lemah karena manusia dan seisi alam ini hanyalah ciptaan dengan
batasannya. Boleh-lah ada yang mengaku ateis, tapi toh ada saja
kelemahannya, dan tidak bisa hidup kekal di dunia.
Adakah orang yang mengaku ateis bisa hidup
kekal di dunia dan bisa berbuat seenaknya?, tetap saja yang namanya
ciptaan akan ikut hukum atau sistem alam ini. tubuhnya akan rapuh dan
semua yang berkenaan dengan materi tak berarti lagi, karena manusia
bukan hanya terdiri dari tubuh jasad tapi ruh atau jiwa atau apalah
namanya yang secara hudhuri atau dengan sendirinya tahu bahwa
dirinya ada. Dan disinilah kadang jalan yang terberat bagaimana bisa
mengenal DIRI lebih dalam lagi, padahal inilah yang sangat nyata
dekatnya daripada yang diluar diri itu, misalnya pengetahuan tentang
ruang angkasa atau kedalaman bumi dan lautan. Bahkan segunung emas yang
dipreteli oleh orang asing di Timika itu takkan sanggup menjadi alat
tukar untuk menciptakan diri-diri lain atau memproduksi ruh-ruh, karena
ini termasuk alam metafisika. Alam yang sangat nyata namun sering
disikapi sebagai “secondary thing” padahal kenyataannya adalah
primary, karena adanya jiwa atau DIRI ini bisa menggerakkan tubuh yang
kasar ini, karena DIRI maka dunia ramai.
Tapi sayangnya, berapa banyak yang mau
meluangkan waktunya untuk melihat ke dalam dirinya lebih seksama bila
dibandingkan dengan begitu banyaknya yang sibuk dengan urusan luar
hingga sibuk dengan simbol-simbol dan sibuk mencari kesalahan karena
berbeda atau karena cara memahami suatu teks kalimat berbeda pula,
sehingga energi banyak yang terkuras mubazir bergelut dengan hal itu.
Contohnya saja bagaimana keributan yang menghabiskan banyak dana hanya
karena video yang telah di cut lalu disebarkan dan akhirnya jadi
trending topik AL-Maidah 51 dan penistaan agama? dan terus dipaksakan?
Alangkah bijaknya jika diri itu melihat ke
dalam “Apakah diri ini tidak nista yang diciptakan dari tanah lumpur
hitam seperti tembikar?”, dimana tanah itu adalah tempat berpijak dan
sering diinjak-injak, namun kita begitu pongah dan merasa sudah paling
saleh, sudah merasa paling ber-ulama, dan sudah merasa paling beriman.
Padahal tidak ada bocoran dari langit bahwa engkau mendapatkan mandat
untuk menghukumi mereka yang dianggap bersalah.
Al-Qur’an yang sering dilombakan itu bukan
hanya sekedar perlombaan, melainkan sebuah kitab yang benar-benar
banyak contoh-contoh pelajaran dari sejarah-sejarah yang ditampilkan
untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyikapi hidup ini, bukan sebagai
bahan untuk diperdebatkan atau justifikasi siapa yang layak menjadi
gubernur atau siapa yang tidak?, Sejatinya alqur’an tidak membela
orang-orang dzolim apalagi mengatasnamakan dirinya pembela agama namun
belum sepenuhnya mengetahui dengan lebih dalam makna-makna dalam
alQur’an, Maka selayaknya bela-lah diri sendiri dengan berpatokan pada
Qur’an, daripada membuat macet jalan dengan terselebung kebangaan yang
semu, Sebab yang pantas berbangga hanyalah yang menciptakan semua ini.
Kalimat yang pertama turun adalah Iqra
atau bacalah, nah ini jelas bahwa al-Qur’an itu mengajak untuk belajar
atau menggunakan akal pikiran dalam melangkah tahap demi tahap sehingga
akhirnya manusia sadar atau terang sisi INSAN KAMIL-nya, masih ingatkah
kalimat yang berbunyi “Siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal
Tuhannya?”, yah kurang lebih begitu, intinya diri manusia ada
konektivitas yang jelas dengan Tuhan pencipta alam semesta ini sehingga
sebenarnya tak bisa dipisahkan, hanya karena DIRI itu ditutupi
hijab-hijab kebencian, egois, tamak, syahwat kekuasaan (merajut tenun
kekuasaan) dan berbagai hal-hal yang tidak layak bagi manusia
melakukannya.
Sekali lagi bahwa al-Qur’an selalu
mengajak merenung, berpikir, dan menggali hikmah-hikmah hidup ini
sehingga benar-benar TAHU DIRI bahwa ada Pencipta yang TAK TERBATAS,
Maha Tunggal, atau ada yang menyebutnya Yang Maha Esa, meski akhirnya
setiap individu berbeda-beda dalam memahami makna Tuhan itu. Dan
al-Qur’an itu selaras dengan pikiran waras.
Mari kita simak kisah Nabi Yusuf yang tertera dalam surat Yusuf, di Kristen pun ada disebutkan kisah ini.
Nabi Yusuf alaihsalam termasuk
kategori 25 nabi dan rasul, yang artinya adalah sesuatu yang diutamakan,
atau bahasa sederhananya “pangkatnya lebih tinggi dari nabi-nabi yang
tidak masuk kategori 25”, dan banyak kelebihan yang diberikan oleh Allah
SWT, seperti takwil mimpi, wajah yang tampan sehingga beberapa pelayan
tak sadarkan diri memotong tangannya sendiri yang dikirannya memotong
bawang atau apel akibat terpesona dengan ketampanan Yusuf, termasuk
Zulaikha, istri raja saat itu tergoda pada Yusuf sehingga
meng-kriminalisasikan Yusuf karena tak terpenuhi keinginannya. Dan
dengan kesabaran yang luar biasa Yusuf mampu melewati rintangan demi
rintangan.
Namun anehnya, meski pernah dibuang oleh
saudara-saudaranya, Yusuf tetap memaafkan mereka. Coba kurang apa lagi
nabi seperti ini?, sementara kita hanya manusia biasa, bahkan mungkin
saja banyak kesalahan yang kita lakukan namun pura-pura tidak bersalah?
dan lebih parahnya lagi kita malah ngotot dengan se-otot-ototnya bukan
se-otak-otaknya, kemudian mengklaim diri jadi pahlawan, pembela, dan
paling benar. Bukankah itu sama dengan sifat Iblis?. Dan coba simak doa
Nabi Yusuf berikut ini yang terdapat dalam ayat 101 surat Yusuf,
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.
Coba renungkan baik-baik, bagaimana rendah
hatinya nabi Yusuf sehingga minta diwafatkan dalam keadaan Islam,
padahal maqam beliau begitu tinggi. Asumsinya bahwa kalau Yusuf berdoa
seperti itu berarti belum merasa Ber-Islam?, terus minta digabungkan
dengan orang-orang yang saleh?, tentunya saleh yang dimaksud disini
adalah sesuai al-Qur’an bukan sesuai dengan klaim-klaim seseorang atau
kelompok atau ormas ataupun partai.
Sungguh tragis jika kisah-kisah hikmah
seperti ini jarang diperhatikan, malah asyik tergerus mengikuti badai
fitnah yang menuju kehancuran. yaitu gagalnya fungsi pikiran sebagai
jembatan untuk mencapai puncak ketakwaan,
Kalau tidak setuju dengan tulisan di atas tak masalah bagi saya, tapi Carilah ayat dalam Quran yang menyatakan bahwa berpikir (menggunkan akal sehat untuk mendapatkan kebenaran) menyebabkan orang masuk neraka. Kalau tidak ada, maka carilah ayat yang menyatakan bahwa ada orang yang shalat tapi celaka dan neraka tempatnya, yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa hanya haus dan lapar. Jadi dengan demikian, apakah berpikir itu tidak penting dalam menjalani agama???. Saya yakin manusia adalah makhluk yang berpikir dan terus melaju meningkatkan sisi spiritualnya..karena tingginya spiritual jauh lebih indah dari bumi dan seisinya… kelak mereka akan mengetahui..
Maka jika argumentasi-argumentasi logis
tidak lagi membuat perubahan dalam saraf-saraf berpikir, maka kebenaran
sejati akan terbukti kelak, atau kalau penasaran bisalah cepat
meninggalkan dunia ini, mungkin saja disana sangat jelas, bukankah
orang-orang yang beriman itu tidak takut mati?. bagaimana antum yang
mengaku beriman?.
Jadi menurut saya berpikir adalah sebuah
anugerah yang sungguh istimewa, dengan berpikir kita bisa memahami
misalnya makna takdir, takdir bisa dimaknai dengan tindakan filosofis
atau tindakan bijak bahwa ada kategori ketentuan yang bisa diusahakan
dan ada yang memang sudah otomatis dari sono-Nya.
Misalnya…
Semua manusia akan mati, ini takdir, tapi
kapan matinya?, manusia bisa mengusahakannya lebih cepat mati (Misalnya
bunuh diri) dan bisa berupaya untuk bertahan sejenak. Bukankah ada cara
yang diusahakan manusia agar berumur panjang?, misalnya silaturahmi,
menjaga makanan dan kesehatan, dan lain-lain.
Allah menciptakan air atau hujan (Takdir),
namun yang menyebabkan banjir adalah Manusia sendiri karena menutup
jalan air sehingga tergenang, sehingga banjir bukan karena takdir tapi
adalah kecerobohan manusia. Abis sih kebanyakan nyinyir daripada
bekerja. jadinya banjir deh..
Allah menciptakan ikan di lautan (Takdir),
dan berapa banyak yang bisa didapatkan nelayan untuk mencari nafkah?,
tentu saja kalau si Nelayan malas-malasan dan tidak melaut secara hukum
alam tidak mungkin ikannya loncat sendiri dari laut menuju jala Nelayan.
Tapi nyatanya si Nelayan harus berusaha mendapatkannya atau menangkap
sehingga bisa menjualnya di pasar.
Nah kura-kura begitu deh. Saya pun takut
mengaku sebagai orang yang paling ber-agama, sangat takut. setidaknya
manusia wajib bergerak DIRI (jiwa)-nya atau bisa disebut Gerak Substansi, dan apapun hasilnya yahh itulah sebagai makhluk, tidak ada hak menghukum orang lain dan makhluk lain
Komentar
Posting Komentar