Banyak orang, dan hampir semua manusia
Indonesia, secara mendalam kehidupannya ditentukan oleh sikap iman
kepercayaan mereka. Iman kepercayaan mereka itu tergantung dari agama
yang mereka anut.
Sementara hati orang beragama sudah jelas
terikat oleh kehendak panggilan Tuhan dan norma-norma agamanya. Apabila
antara negara dan agama terjadi ketidakcocokan, hati orang beragama akan
bingung: terjadilah suatu dilema etis.
Setia kepada negara berarti mengingkari
tuntutan Allah dan dengan demikian ia merasa berdosa; sedangkan setia
pada agama akan berarti ia merasa bersalah sebagai seorang nasionalis.
Negara Indonesia mengakui adanya
pluralitas dalam masyarakat, kenyataannya eksklusivisme agama menjadikan
sekelompok penganut agama tertentu hanya memperhatikan dirinya sendiri.
Kelompok ini merasa tidak puas dengan penyelenggaraan negara, karena
negara memberikan tempat pada kelompok-kelompok yang bersebrangan
dengannya.
Sebagaimana diketahui, dalam masa
pergerakan kemerdekaan terjadi perdebatan yang hangat antara golongan
nasionalis dan golongan Islam. Untuk mengatasi pandangan-pandangan yang
berbeda itu, Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengemukakan apa yang disebutnya Pancasila.
Dalam Pancasila itu aspirasi baik golongan
nasionalis maupun golongan Islam mau ditampung. Pancasila kemudian
dikembangkan lagi pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Kecil ke dalam
rumusan yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Namun rumusan ini
pun belumlah yang definitif.
Pada malam menjelang pemakluman
Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila diberi bentuk definitif seperti yang
termuat dalam pembukaan UUD 1945. Dasar normatif Republik Indonesia
harus dirumuskan dengan sedemikian rupa hingga semua suku, golongan,
agama dan budaya dapat menerimanya dengan sungguh rela.
Hingga hari ini rencana sekelompok massa
yang menentang Ahok menjadi Gubernur tidak kunjung usai. Mereka menuntut
agar Ahok segera mendekam di penjara atau tidak lagi menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Mereka lupa bahwa dasar kehidupan bernegara di
republik ini dibangun atas dasar perbedaan.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh
Tholibin, KH Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus
Mus mengungkapkan, semangat berdakwah yang dilakukan Wali Songo dan para
ulama-yang diantaranya adalah KHR Asnawi (pendiri NU asal Kudus) mampu
membawa Islam berkembang di Tanah Air.
“Dulu Mbah Asnawi mengajak orang masuk
surga kelak, sekarang orang malah seakan ingin mengangkangi surga.
Lainnya disuruh di neraka,” ungkap Gus Mus seperti dikutip dari nu.or.id
Di samping memiliki semangat dakwah, mbah
Asnawi juga mempunyai kecintaan ilmu pengetahuan terutama ilmu agama
dan selalu berjiwa ke-Indonesiaan.
Mencari Jalan Keluar
Bapak negara konstitusional John Locke
mencoba mencari jalan keluar dari dilema antara negara dan agama. Ia
menyangkal wewenang negara untuk mencampuri pikiran dan kepercayaan
seseorang. Tetapi di lain pihak ia menuntut agar agama membatasi diri
pada ajaran mengenai akhirat dan kegiatan ibadat. Sedangkan urusan dunia
diserahkan kepada negara.
Menurutnya agama harus membuat masyarakat
bersikap patuh, sedangkan negaralah yang mengurusnya. Pikiran-pikiran
semacam ini telah berkembang di masyarakat Indonesia: Agama diharapkan
membuat masyarakat tenang, patuh dan bersedia berpartisipasi dalam
pembangunan, sedangkan pengarahan masyarakat diserahkan pada negara.
Dan yang paling penting menurut saya
adalah, agama harus mampu mengatasi manusia yang menderita – akibat ulah
negara atau kuasa. Sehingga tidak ada alasan mengapa orang beragama
tidak mencintai negaranya.
Lantas bagaimana dengan kiai-kiai kita
hari ini? Apakah mereka sudah rela menjadi orang Indonesia yang beragama
Islam dan meyakini Pancasila?
“Kebenaran tentang perebutan kekuasaan
tidak boleh dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi
kemudian menjadi masuk akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu
dianggap sah dan abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus
disembunyikan, jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir.” –Blaise Pascal, Pensées (1670)
Komentar
Posting Komentar