Oleh Masykuri Abdillah*
Terdapat
dua penilaian tentang kerukunan umat beragama di era Jokowi-JK. Pertama
adalah penilaian Komnas HAM dan Setara Institute, yang melaporkan
kerukunan umat beragama di era Jokowi-JK menglami penurunan. Laporan
Komnas HAM yang disampaikan pada 23 Februari 2016 menyatakan, bahwa
pengaduan atas kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan
yang diterima lembaga ini meningkat dari 74 pengaduan pada 2014 menjadi
87 pengaduan pada 2015.
Senada
dengan hal tersebut, laporan Setara Institute yang disampaikan pada 18
Januari 2016 lalu menyatakan, bahwa pada 2014 terdapat 134 kasus
pelanggaran di berbagai wilayah Indonesia, tetapi pada 2015 meningkat
menjadi 197 kasus pelanggaran. Sementara tindakan pelanggaran pada 2014
berjumlah 177 tindakan, tetapi pada 2015 meningkat menjadi 236 tindakan.
Hal senada juga disampaikan US Commission on International Religious
Freedom (USCIRF). Hanya saja, USCIRF mencatat adanya political will
Menteri Agama Lukman Saifuddin, yang lebih concerned terhadap
perlindungan kelompok minoritas, dibandingkan dengan Menteri Agama
sebelumnya yang cenderung mengakomodasi kelompok radikal.
Penilaian
kedua adalah laporan survei Kementerian Agama pada Februari 2016 lalu,
yang menjelaskan bahwa kerukunan umat beragama kini sangat baik, yakni
pada angka 75,36 dengan skala 0-100, meski diakui juga masih adanya
kasus-kasus intoleransi beragama dalam masyarakat. Kedua laporan ini
sebenarnya tidak bertentangan, karena yang pertama menekankan pada
kasus-kasus yang terjadi, sedangkan yang kedua menekankan pada kondisi
obyektif kerukunan umat beragama di Indonesia. Kerukunan umat beragama
ini ditentukan oleh tiga faktor, yakni kebijakan pemerintah, prilaku
umat beragama, dan peraturan perundangan yang ada.
Kebijakan Pemerintah
Seperti
kebijakan pemerintah sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK mempunyai
perhatian yang besar terhadap perlindungan kebebasan dan kerukunan umat
beragama. Hal ini bahkan merupakan bagian dari Nawacita yang menjadi
visi dan misinya, yakni memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat
restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan pendidikan kebhinnekaan dan
penciptaan ruang-ruang dialog antarwarga.
Salah
satu upaya untuk mewujudkan perlindungan beragama, terutama bagi
kelompok minoritas, Mendagri Tjahjo Kumolo mewacanakan pengosongan kolom
agama dalam KTP serta penghapusan UU Penodaan Agama dan Peraturan
Bersama (PBM) Menag dan Mendagri yang antara lain mengatur tentang
pendirian rumah ibadah. Sedangkan Menag Lukman Saifuddin menyatakan
komitemennya pada perlindungan kebebasan beragama bagi kelompok
minoritas, termasuk kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah, serta pengakuan Bahai
dan Yahudi sebagai agama. Di samping itu, Menag juga berupaya untuk
mengajukan RUU Perlindungan Umat Beragama, yang sudah lama diinginkan
oleh umat beragama.
Namun
sebagian dari upaya tersebut menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
Hukum tentang penodaan agama tidak bisa begitu saja dihapus, karena
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak usulan uji materiil PNPS No1/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama melalui
Putusannya No. 140/PUU-VII/2009. Demikian pula, PBM Menag dan Mendagri
No. 9/2006 dan No. 8/2006 juga tidak bisa begitu saja dibatalkan, karena
PBM ini sebenarnya merupakan kesepakatan majelis-majelis agama di
Indonesia. Bisa saja PBM ini direvisi atau diintegrasikan dalam UU
Perlindungan Umat Beragama yang akan diusulkan. Sedangkan penghilangan
kolom agama dalam KTP ditolak, karena hal ini dikhawatirkan akan
menyuburkan ateisme, yang notebene bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.
Berbeda
dengan Bahai, pengakuan terhadap Yahudi sebagai agama tidak menimbulkan
penolakan. Hal ini karena Yahudi memang merupakan agama yang juga
disebutkan dalam al-Quran dan Bible. Sementara itu, RUU Perlindungan
Umat Beragama masih dipersoalkan oleh sebagian kelompok minoritas dan
sebagian aktivis HAM. Mereka mengkritisi pendekatan pemerintah yang
lebih menekankan pada stabilitas keamanan, bukan perlindungan kaum
minoritas.
Untuk
menelaah kebijakan negara tentang kebebasan beragama atau kerukunan
umat beragama ini, seyogyanya kita membahasnya dalam perspektif HAM dan
UUD 1945. Gagasan HAM memang semula muncul sebagai penolakan campur
tangan terhadap kepentingan individu, terutama yang dilakukan oleh
negara, yang disebut negative rights. Namun dalam perkembangannya, ia
juga diinterpretasikan sebagai pemberi legitimasi kepada pemerintah
untuk melayani serta membantu mencukupi kebutuhan dan kepentingan
rakyat, yang disebut positive rights.
Dalam
konteks kebebasan beragama, negara-negara sekuler pada umumnya
melaksanakan negative rights lebih tinggi dari pada positive rights.
Bahkan sejumlah negara meniadakan positive rights ini, seperti Amerika
Serikat (AS). Dengan kebijakan demikian, negara ini tidak mencampuri
sama sekali urusan agama, dan memberikan kebebasan kepada semua aliran
keagamaan dan kepercayaan yang ada. Agak berbeda dengan AS,
negara-negara Eropa, baik yang memiliki agama negara (state religion)
maupun yang sekuler selain Perancis, hampir semuanya melaksanakan
positive rights dalam bentuk pendidikan agama di sekolah, subsidi untuk
komunitas beragama, dan sebagainya.
Sebagian
besar negara-negara di Eropa masih memiliki hukum anti penodaan agama
(blasphemy law), meski sejak 2002 AS dan Uni Eropa menolak hukum ini.
Demikian pula, sejumlah negara di Eropa, seperti Rusia, Perancis, Swiss,
Jerman dan Yunani, kini masih melarang atau membatasi aktivitas
aliran-aliran keagaman tertentu, seperti Mormon, Saksi Yehova (Yehuwa)
atau Scientology, serta aliran-aliran kepercayaan (cults) lainnya.
Dalam
konteks Indonesia, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29
UUD 1945), negara melaksanakan kedua bentuk hak tersebut. Di satu sisi
negara berkewajiban melindungi agama dan kepercayaan yang ada, dan sisi
lain negara juga berkewajiban memberikan pelayanan kepada umat beragama.
Perlindungan itu diberikan baik kepada kelompok mayoritas maupun
minoritas, seperti kebebasan beribadah, pendirian tempat ibadah, dan
sebagainya. Namun, pelayanan hanya diberikan kepada agama yang diakui
secara resmi oleh negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu. Pelayanan ini meliputi antara lain pendidikan agama,
bantuan sarana dan prasarana ibadah, bimbingan masyarakat, pencatatan
perkawinan, penyelenggaraan haji, dan sebagainya.
Model Kerukunan
Dengan
pemberian keseimbangan antara negative rights dan positive rights
tersebut di atas, di negara ini konsep kerukunan beragama (religious
harmony) lebih ditekankan daripada konsep kebebasan beragama (religious
freedom). Kerukunan beragama merupakan keadaan hubungan antarumat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Memang
kini masih terdapat sejumlah kasus intolerensi yang menjadi perhatian
dunia. Sebagian di antaranya merupakan peninggalan masa sebelumnya,
misalnya pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, HKBP Filadelfia di
Bekasi, masjid raya di Manokwari, dan pengungsi Ahmadiyah yang kini
masih ditampung di Asrama Transito Mataram. Sedangkan yang terjadi pada
era Jokowi-JK misalnya kasus pembakaran masjid di Tolikara, Papua dan
kasus perusakan sejumlah gereja di Singkil, Aceh.
Meski
jumlah laporan pelanggaran kebebasan beragama pada era Jokowi-JK
semakin meningkat, kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia tetap
baik. Bahkan kerukunan umat beragama di Indonesia masih dinilai sebagai
model kerukunan beragama di dunia. Dengan demikian, jika AS menjadi
model negara dalam penerapan negative rights, Indonesia bisa menjadi
model negara dalam penerapan keseimbangan antara negative rights dan
positive rights.
Dalam
kenyataannya, problem intoleransi beragama di seluruh negara di dunia
memang semakin naik, termasuk di Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat.
Kasus-kasus intoleransi di Inggris, mislanya, mengalami kenaikan, meski
sebenarnya negara yang menjadikan Kristen sebagai agama negara ini
memiliki kebijakan yang baik terhadap kelompok minoritas. Menurut
laporan USCIRF 2015, antara Maret 2014 sampai Maret 2015 di negara ini
terjadi kasus intoleransi keagamaan, terutama anti-Semit dan
anti-Muslim, sebanyak 3.254 kasus, atau naik 43 persen dari tahun
sebelumnya.
Demikian
pula di Italia, menurut laporan USCFIRF 2015, terdapat sekitar 400
insiden diskriminasi agama dan etnis di negara ini. Konstitusi negara
ini memberikan privilage kepada agama Katolik, sedangkan agama-agama
lain bisa mendapatkan pengakuan resmi melalui prosedur yang sudah
ditetapkan dalam peraturan perundangan. Agama-agama non-Katolik yang
sudah mendapatkan pengakuan resmi adalah Gereja Methodis, Valdese,
Lutheran, Saint Edigio, Ortodox, Yahudi, Baptis, Mormon, dan terakhir
Buddha dan Hindu. Kelompok Muslim (3,1%), yang merupakan terbesar kedua
setelah Katolik, sudah lama mengajukan pengakuan ini, tetapi sampai
sekarang belum mendapatkan persetujuan.
USCIRF
memang tidak melaporkan kasus-kasus intoleransi di negara sendiri,
tetapi Council on American-Islamic Relations (CAIR) 2015 melaporkan
adanya kenaikan kasus intoleransi beragama di AS. Di antarnya adalah
kekerasan atau perusakan, gangguan, Islamofobia, dan intimidasi terhadap
komunitas Muslim, yang pada 2015 mencapai 71 kasus, lebih tinggi dari
pada tahun sebelumnya, yakni 53 kasus pada 2010 dan 20 kasus pada 2014.
Negara-negara
tersebut memang melindungi kebebasan beragama dan beribadah, tetapi
izin pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas, terutama dalam
bentuk mesjid, tidak mudah, baik karena persoalan izin pemerintah maupun
karena penolakan warga. Jumlah tempat ibadah yang berbentuk masjid di
negara-negara Barat umumnya memang tidak lebih dari 10 persen. Bahkan di
Italia, Muslim saat ini berjumlah sekitar 1,6 juta orang, tetapi sampai
kini hanya dizinkan empat masjid, meski ada sekitar 800 tempat ibadah
yang umumnya di garasi. USCIRF 2015 juga melaporkan tentang kesulitan
ini, seperti kasus pembangunan masjid Milan dan Salerno yang sampai kini
belum mendapatkan izin dari pemerintah.
Dengan
kondisi tersebut, pemerintah Indonesia sejak 2005 telah menjadikan
program Interfaith Dialogue sebagai program andalan diplomasi publik,
baik di tingkat internasional maupun regional, multilateral maupun
bilateral. Dalam dialog-dialog itu tokoh-tokoh agama di Indonesia
berkesempatan menyampaikan pengalaman-pengalaman kepada dunia tentang
kondisi kerukunan umat bergama di Indonesia, termasuk dalam hal
penyelesaian konflik berlatarbelakang agama. Hanya saja, kini kehidupan
umat beragama yang toleran dan damai ini menghadapi tatangan yang tidak
ringan. Berkembangnya aliran-aliran puritan dan sikap fanatik,
intoleran, radikal dan bahkan ekstrim pada saat ini, baik di wilayah
Indonesia Barat, Tengah maupun Timur, bisa mengancam kondisi yang baik
ini. Kelompok ini tidak hanya menimbulkan ancaman terhadap harmoni
sosial, tetapi juga NKRI.
Oleh
karena itu, agar kerukunan beragama di negara ini tetap baik,
upaya-upaya merawatnya perlu terus dilakukan, baik oleh pemerintah
maupun para tokoh agama. Pemerintah perlu menyelesaikan kasus-kasus GKI
Yasmin di Bogor, HKBP Filadelfia di Bekasi, masjid raya di Manokwari,
dan masjid As-Syuhada di Bitung. Pemerintah juga perlu mencegah
terjadinya persitiwa semacam pembakaran masjid di Tolikara dan gereja di
Singkil, sementara tokoh agama seharusnya terus mensosialisasikan
ajaran-ajaran agama yang ramah, damai dan toleran, serta mewaspadai
munculnya aliran-aliran radikal dan tidak toleran. Yang tak kalah
pentingnya adalah penyelesaian UU tentang Perlindungan Umat Beragama
yang komprehensif.
*Masykuri Abdillah, Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakata, dan Rais Syuriyah PBNU
Komentar
Posting Komentar