Melalui Menkominfo, Rudiantara, Jokowi
berhasil menaklukkan raksasa aplikasi chat asal Rusia yang dikelola oleh
pemuda berusia 32 tahun asal Rusia. Apa yang menjadi langkah jitu
Jokowi di dalam memenangkan ‘cyber war’ semacam ini? Begini
penjelasannya.
Semua berawal dari teknologi yang begitu
‘aman’ yang ditawarkan oleh Pavel Durov kepada para penggunanya. Bahkan
ia mengakui bahwa aplikasi chat nya menjamin keamanan pengguna dan tidak
menutup kemungkinan percakapan para teroris pun terlindung dengan baik
melalui chat ini. Saya tidak membual mengenai hal ini. Sambil mencibir
WhatsApp, Durov mengatakan demikian:
“Jika Anda memakai WhatsApp dan ponsel
Anda mati, Anda tidak punya akses ke pesan-pesan yang disimpan di sana.
Anda (pengguna WhatsApp) tidak bisa mengirim dokumen dan WhatsApp tidak
privat…. Jika mereka (teroris) melihat alat ini tidak aman, mereka
(teroris) akan segera meninggalkannya. Kami tidak harus merasa bersalah
karena aplikasi ini dipakai mereka (teroris). Kami masih melakukan hal
yang benar, melindungi privasi pengguna kami….”
Inilah yang rasanya hal yang membuat
pemerintah mencurigai Durov. Secara langsung, tentu Durov tidak
mendukung aksi terorisme. Namun di dalam membiarkan para teroris
memiliki akses mudah dan akses nyaman untuk berkomunikasi, secara tidak
langsung Telegram menjadi media yang harus diaudit ulang, baik dari segi
aksesibilitas pengguna, khususnya para teroris.
Pada akhirnya, beberapa hari kemarin,
Jokowi melalui kementerian komunikasi dan informatika memblokir akses
chat Telegram melalui website. Sebelumnya Kemenkominfo pun mengatakan
sudah mencoba menghubungi Telegram sejak tahun 2016 terkait kasus
penggunaan aplikasi ini secara masif oleh para penyebar paham
radikalisme dan terorisme.
Permintaan maaf pun dilayangkan oleh pihak
Telegram terkait dengan ketidak sesuaian aplikasi tersebut dengan
perundang-undangan karena memuat channel-channel radikalisme dan
terorisme. Rudiantara selaku Menkominfo mengatakan Durov sudah meminta
maaf kepada Indonesia.
Dengan permintaan maaf pihak Telegram ke
pemerintah, Durov ternyata inkonsisten. Mengapa inkonsisten? Karena
sebelumnya, Durov mengakui belum pernah dihubungi pemerintah Indonesia.
Ia mengatakan pemblokiran ini aneh karena ia tidak pernah mendapatkan
permintaan penghapusan konten dari Kemenkominfo.
Lantas mengapa ia meminta maaf jikalau
memang ia belum pernah dihubungi? Jadi untuk hal ini, Durov mengakui
kekhilafannya dan menawarkan solusi mengenai pemblokiran aplikasi ini di
Indonesia. Setidaknya ada tiga solusi yang ditawarkan oleh Durov.
Pertama, Telegram akan memblokir semua channel publik yang berhubungan dengan terorisme, sesuai laporan dari Kemenkominfo. Kedua, Pavel Durov berjanji untuk menjalin komunikasi yang lancar agar dapat lebih efisien di dalam memberantas terorisme. Ketiga, Telegram akan membuat tim khusus untuk Indonesia, agar laporan dapat ditindaklanjuti dengan lebih cepat dan efisien.
Setelah Rudiantara seolah dibully oleh
para netizen yang entah datang darimana dan Fadli Zon, Presiden Jokowi
pun ikut angkat bicara mengenai hal ini. Jokowi mengatakan bahwa di
dalam pemblokiran ini dikerjakan karena masih ada akun-akun yang lolos
dari penyaringan konten oleh Telegram. Jokowi mengatakan bahwa Telegram
seolah masih belum tuntas di dalam menangani terorisme yang berkembang
melalui aplikasinya.
“Kenyataannya masih ada ribuan akun
(pengelola saluran percakapan) yang lolos….Saluran percakapan itu
dipakai untuk membangun komunikasi antar negara, untuk hal-hal yang
berkaitan dengan terorisme…” ujar Presiden Joko Widodo di kampus Akademi
Bela Negara milik Partai NasDem, 16 Juli 2017, di Jakarta.
Sebelumnya melalui siaran pers, Pavel
Durov mengklaim bahwa saluran percakapan berbahaya di Telegram miliknya
sudah ditangani, berdasarkan laporan dari Menkominfo. Lantas apakah ada
permainan dari Telegram di dalam meloloskan banyak konten, atau daftar
konten terorisme dari Rudiantara yang belum lengkap? Saya pun tidak
ingin berspekulasi di bagian ini.
“Umpamanya saya mau bicara dengan Twitter, saya tahu kantornya di mana. Kalau ada masalah, yuk, kita ngobro. Kan gitu. Ayo, kita beresin apa masalahnya. Google juga ada. Yang lain juga ada…. Kami sudah pantau (Telegram) dari lama. Telegram itu beda, jadi susah mau berkoordinasinya. Dia itu model yang lain. Kalau Facebook, WhatsApp itu kan, kami modelnya tahu,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.
Lantas pada akhirnya, Jokowi dengan luar
biasa berhasil menaklukkan raksasa Telegram dan mengajak mereka
bersama-sama untuk melawan radikalisme dan terorisme di dunia ini.
Telegram diperlihatkan kepada kedaulatan negara Indonesia dan harga diri
bangsa yang begitu besar. Sikap tegas pemerintah yang berani menggertak
Telegram, pada akhirnya membuahkan hasil, yakni kerja sama yang
dijanjikan oleh Telegram kepada Indonesia.
Jokowi membuktikan bahwa di dalam
kesederhanaannya, di dalam ketenangannya, dan di dalam diamnya, ia
berhasil menaklukkan satu per satu potensi radikalisme dan terorise.
Presiden Jokowi berhasil mempertunjukkan kekuatan bangsa Indonesia. Ia
tidak hanya menaklukkan jutaan laskar antilektual (anti
intelektual hahaha) yang ingin mengganti NKRI dengan sistem lainnya, ia
pun berhasil membungkam ormas-ormas radikal. Namun apakah Jokowi selesai
sampai disini? Tidak! Jokowi berhasil menunjukkan kedaulatan negara ini
kepada negara lain, salah satunya dengan ketegasannya di dalam bidang
komunikasi.
Fadli Zon yang sempat ‘berbunyi’ pun
akhirnya bungkam dan tidak dapat berkata-kata lebih jauh lagi mengenai
ketegasan presiden. Saya sengaja menggunakan istilah ‘bunyi’ ketimbang
‘suara’, karena ‘bunyi’ itu lebih tidak penting dari ‘suara’.
Ngomong-ngomong, suara kentut saya pun itu adalah bunyi loh.
Lantas apa bedanya penaklukan Jokowi
dengan penaklukan era orde baru? Jelas berbeda! Penaklukan era Orde Baru
bertujuan untuk memperkaya keluarga maupun dinasti tertentu. Sedangkan
penaklukan Jokowi jelas bertujuan untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia.
Menyelamatkan dari keterpurukan dan penjajahan buah-buah ekstremisme,
radikalisme, dan terorisme yang sedang ditanam saat ini. Akar-akar dari
ekstremisme, radikalisme, dan terorisme harus sesegera mungkin dicabut,
agar Indonesia terhindar dari kecelakaan yang lebih besar lagi.
Lagi pula, cara bermain orde baru berbeda
jauh dengan Jokowi saat ini. Kita tahu pada zaman orde baru, banyak
orang oposisi pemerintah yang tercyduk…. eh…. Maksud saya terciduk dan hilang entah di mana. Sedangkan di zaman Jokowi, tidak ada permainan cyduk mencyduk.
Jokowi ‘seolah’ membiarkan mereka bebas berkeliaran ataupun ‘berbunyi’
sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa sadar, menelanjangi diri mereka
di depan umum. Lihat saja si ‘dia’, bahkan sampai kabur ke luar negeri
menutup ‘kemaluannya’. Hahaha.
Jangan kita
menjadi orang-orang nyinyir yang selalu mengkritisi pemerintahan
Indonesia, tanpa mencoba mengerti secara lebih dalam apa yang sebenarnya
sedang mereka lakukan. Pemerintah saat ini justru sedang menangkal
aksi-aksi radikalisme yang dimunculkan.
Namun sayangnya, Fadli Zon malah nyinyir
dan mengejek tindakan tegas pemerintah di dalam menangkal terorisme.
Apakah ini membuktikan Fadli Zon dan para begundal bajingan yang
bercokol di DPR, justru mendukung aksi terorisme? Dasar benalu! Urusi
saja pengesahan revisi undang-undang anti terorisme yang mangkrak
terlebih dahulu.
Akhir kata, kita harus bersyukur dan
mendukung langkah Presiden Jokowi di dalam menindak tegas
organisasi-organisasi yang baik secara langsung, maupun tidak langsung
mendukung dan memperlancar aksi-aksi radikalisme dan terorisme.
Indonesia berdaulat, Indonesia berjaya, Indonesia harus menunjukkan
harga dirinya. Merdeka!
Komentar
Posting Komentar