Bukan barang baru lagi, bagi Jokowi dan Pemerintah soal isu krusial di atas, Antek China, Anti Islam dan Kebangkitan PKI.
Propaganda pun hembus dilakukan oleh
segerombolan orang untuk menggiring mindshet masyarakat ke arah tiga isu
krusial tersebut. Berbagai cara, dan modus operandinya pun bermacam-
macam dengan berbagai dalil. Tujuannya hanya satu, menjatutuhkan
Presiden Jokowi dari tampuk Pemerintahan.
Gejala atau fenomena ini, pernah terkuat
lagi. Dimana, Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki digiriing oleh
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) dalam ceramahnya
mengatakan bahwa kader PKI.
Bukan hanya itu, Prof. DR. Hamka ini juga
menyebut gedung Kantor Staf Presiden yang terletak di Gedung Binagraha,
Kompleks Istana Presiden, sering dijadikan tempat rapat PKI oleh Teten
dan kawan-kawannya.
Bukan, main keberaniaan Hamka ini, kita
patut apresiasi, sebagai bentuk akademisi yang mencintai NKRI. Tetapi
dibalik itu, apa daya tidak bisa dibukti secara hukum, apalagi membawa
nama Istana sebagai locus negara, akan disayangkan label akademisinya
sebagai intelektual.
Seperti yang kita ketahui, sebelumnya buku
Undercover Jokowi yang sempat menjadi viral dan hangat diperbincangkan
di permukaan publik. Dimana penulis, Bambang Tri Mulyono tidak bisa
membuktikan itu fakta Pemgadilan semua yang dia tulis dalam buku ‘Jokowi
Under Cover’
Kelompok tukang Nyinyir pun tidak
kehabisan cara, dengan memutar otak, membangkitkan kembali propaganda
Anti Islam, Antek China dan Kebangkitan PKI yang disematkan kepada
Jokowi.
Staf Khusus Kepresiden pun ikut terseret
dalam permainan propaganda kelompok Nyinyir ini. Dengan mengatakan bahwa
Tenten adalah PKI.
Tentu ini tamparan keras bukan hanya Teten
secara personal melainkan Institusi Negara dalam hal ini, Istana.
Dengan begitu sigapnya, kita melihat Tenten melaporkan hal ini ke Polisi
agar diusut tuntas ileh Kepolisiaan agar hal ini tidak menjadi bola
panas di tengah riuhnya politik negeri ini.
Alhasil, Bareskrim dengan sigapnya
menyelesaikan persoalan agar fakta Pengadilan dibuka oleh Pof. DR. Hamka
apakah benar atau tidak. Atau hanya bentuk permainan tukang Nyinyir
untuk menjatuhkan Jokowi. Alhasil, ‘Jokowi Under Cover’ jilid II
terulang lagi. Bukanya bisa dibuktikan malah menyebar fitnah yang tidak
mendasar. Dan konsekuensi hukum didapat balik jerugi bersama Buni Yani
Fenomena ini, memang bukan sesuatu hal
baru. Saat Jokowi calon Presiden pun isu ini sudah dihembuskan di
publik. Saat Jokowi jadi Presiden pun ini mulai masih dilakukan dengan
dengan isu artifisial anti-Islam, antek China dan pro-PKI diarahkan ke
Istana. Frame ini selalu dijadikan bola liar yang dihembuskan oleh
sekelompok orang untuk mejatuhkan Jokowi.
Kita bisa melihat, pasca Perpu Jokowi
dikeluarkan stigmatisasi dari HTI dan beberapa Ormas Kemasyatakatpun
memggelinding opini publik yang seakan akan Jokowi anti Islam.
Inilah, gerakan dimana Jokowi memang
selalu ditekan dari berbagai sisi. Tidak ada satu pun amunisi yang bisa
dipergunakan selain tiga isu krusial penuh kebohongan itu. Simplenya,
Jokowi terlalu sulit dicari kelemahannya. Koruptor bukan, atau aklaknya
buruk dakam kehiduoan masyarakat juga bukan. Selain celah fitnah dan
hoax pun jadi taruhan kelompok nyinyir untuk menjatuhkannya.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) menyebut pemerintahan Joko Widodo sebagai rezim represif dan anti-Islam.Menurut juru bicara HTI Ismail Yusanto, hal itu terbukti dengan tindakan pemerintahan Jokowi seperti mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam, serta mencekal dai, membubarkan, dan menghalangi kegiatan dakwah di sejumlah tempat.Tak hanya itu, kata Ismail pemerintah semakin memperlihatkan sikapnya terhadap Ormas Islam dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas.“Berdasarkan semua ini, maka publik semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang berkuasa saat ini adalah rezim represif dan anti-Islam,” kata Ismail Yusanto saat bertemu Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di Gedung DPR RI, Selasa (18/7) (CNN Indonesia)
Model propaganda mereka , antara 3 isu
besar di atas selalu dimainkan dipermukaan publik. Mencuci otak publik
dengan stigmatisasi atau stempel dosa kepada Pemerintahan Jokowi.
Propaganda semacam ini, sudah jauh sebelumnya baik zaman Penjajahan,
Orde Lama, apalagi Orde Baru di bawah Kediktatoran Soeharto.
Lantas, propaganda semacam ini, mau
dibangkitkan lagi di tengah masyarakat yang semakin tahun semakin cerdas
dalam melihat persoalan.
Kita fair sajalah, kalau Jokowi memang
cukup kuat untuk ditandingi. Kejujuran dan etos kerja yang tinggi,
membuat masyarakat jatuh hati, bukan karena hanya tampilannya yang ndeso
atau sederhana, melainkan cara kepemimpinannya dan target kerjanya yang
sudah dirasakan publik, terutama bagian infrastruktur.
Mungkin, kalau ingin menyaingi Jokowi di
2019 nanti, atau ingin mejatuhkan Jokowi tunjukan dengan etos kerja dan
tindakan di masyarakat. Bersaing secara sehat, eh tadi keceplosan di
2019 yah. Tetapi tidak apa-apa, pernyataan saya bisa didukung oleh Buya
Maarif, ada kepentingan politik di 2019 lho?
Untuk raja nyinyir, sudahlah jangan
terlalu suka berpropaganda yang sifatnya tidak produktif dan menujuk
pada fitnah. Ayo kerja, ikut derap langkah Jokowi yang tidak ada
lelahnya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Kunjung ke
daerah-daerah melihat langsung keadaan masyarakat. Membangun
infrastruktur yang melekat dengan kebutuhan masyarakat sehari- hari.
Stop fitnah, bangunkan diri dengan tindakan produktif untuk bangsa dan
negara.
Komentar
Posting Komentar