Langsung ke konten utama

Falasi Non Causa Pro Causa dan Pembubaran HTI

Beredar  di WAG tulisan bagus dari Dr Dina Sulaeman yang berjudul “Falasi Logika Para Pembela Israel” yang mengulas tentang upaya para pembela Israel dalam menutupi kejahatan Israel sembari melemparkan kesalahan pada pihak Palestina.
Menurut Dina Sulaeman, Pengamat Timur Tengah sekaligus direktur ICMES, berita yang disebar oleh media-media pro Israel kerap membombardir pembacanya dengan kemasan Falasi Non Causa Pro Causa, artinya memberi argumentasi yang salah karena keliru mengindentifikasi sebab.
Dalam kasus bentrokan antara tentara Israel dan warga Palestina, yang dianggap sebagai sebab tentara Israel berbuat kekejaman adalah sikap orang Palestina-nya. Israel dianggap hanya defensif demi melindungi nyawa. Pola serupa nampak ketika dulu Israel menyerang secara besaran-besaran ke Gaza yang dikemas dalam berita: ”serangan ini terjadi setelah Hamas meluncurkan roket ke Israel”. (lihat penjelasan lebih detail di https://web.facebook.com/dina.sulaeman)
Kita disuguhi dan dipaksa untuk menerima pola-pola pemberitaan seperti tersebut di atas bahwa segenap pemantik kebrutalan tentara Israel terhadap warga Palestina, disebabkan, sekali lagi disebabkan oleh aksi kekerasan warga Palestina terhadap tentara Israel.
Tujuannya teramat jelas. Pihak penjajah Israel beserta pengikutnya akan terus berupaya menancapkan kuku kekuasaannya atas pihak yang terjajah (Palestina) sambil bebas bertindak biadab tanpa merasa bersalah, karena segenap kesalahan terlahir dari aksi perlawanan Palestina.
Lantas apa hubungannya Falasi Non Causa Pro Causa dengan Pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia} yang hingga kini menuai pro-kontra dengan beragam analisa dan aroma sentiment negatif yang terus disemai oleh kubu HTI terhadap pemerintahan Jokowi ?
Jawaban simpelnya adalah “Lantaran mereka juga disergap oleh cara berfikir Falasi Non Causa Pro Causa”. Mari kita simak paparannya !
Dengan beragam argumentasi yang dipaksakan, kubu pro HTI terus menggemakan dan menebarkan sekaligus meyakinkan bahwa yang menjadi sebab dibubarkannya ormas HTI adalah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap umat Islam (mencatut diksi “umat Islam” adalah upaya menggenarilisir demi meraih simpati dan berposisi sebagai korban). Tidak lupa juga diselipi dengan kata-kata penguasa tidak demokratis alias otoriter. Bahkan lebih otoriter ketimbang pemerintahan Orde Baru !
Para kubu pro HTI alias yang anti pembubaran HTI, sengaja memangkas fakta baik di lapangan dan juga yang termuat dalam situs resmi HTI sendiri (sebelum ditutup) bahwa setidaknya dalam 10 tahun masa pemerintahan SBY hingga berjalannya separuh pemerintahan Jokowi, HTI telah meneror dan merongrong  falsafah dasar negara, yaitu Pancasila.
Boleh jadi HTI berkilah bahwa AD/ART yang tercantum dalam organisasinya menuliskan kata sakti Pancasila, tetapi pada faktanya sebagaimana bisa kita telusuri di jagad maya, HTI teramat getol meneror falsafah negara Indonesia, bahkan tidak ragu-ragu untuk melabeli pemerintahan Jokowi dengan sebutan thogut dan kafir.
Argumentasi HTI bahwa sistem demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam, tidak berlaku manakala mereka mengemis untuk tidak jadi dibubarkan dengan mengusung jargon demi menjunjung sikap demokratis.
Sementara di sisi lain, konsep khilafah yang terus dijejalkan pada para kadernya dan dijadikan ideologi untuk diperjuangkan hingga pada taraf mengganti sistem negara NKRI dengan syariat Islam versi mereka, juga secara militan dijajakan dan ditawar-tawarkan pada umat Islam lainnya, yang sejatinya mayoritas umat Islam sudah final menerima falsafah dasar negara NKRI.
Bahkan menurut penulis pribadi sikap pemerintah sudah teramat baik dan agak terlambat, karena ideologi yang tertancap dalam benak pendukung HTI sudah terlanjur mengakar dan tetap menjadi bahaya laten.
Maka dari perspektif tersebut sudah semestinya pemerintahan Jokowi bersikap tegas. Setelah melalui proses pengamatan, pertimbangan dan segenap faktor lainnya yang dianggap penting dan genting demi kelangsungan keutuhan empat pilar negara yaitu PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45), maka pemerintah Jokowi menggunakan hak subjektif-nya untuk membubarkan HTI. Mengapa ?
Karena HTI sebagai salah satu organisasi massa telah menjadi penyebab atau pelaku teror dan berbuat zhalim terhadap falsafah dasar negara NKRI yang telah disepakati bersama. Dan ancaman pembubaran juga akan diberlakukan pada semua ormas yang merongrong, menteror atau bertujuan menggantikan falsafah dasar negara Pancasila dalam bingkai NKRI.  Jadi bukan sebatas ormas bernuansa Islam saja.
Jadi  dalam kasus pembubaran HTI oleh pemerintah adalah secara terang benderang dan cetar membahana, berdasarkan pada identifikasi bahwa HTI telah menjadi penyebab  terancamnya Pancasila dan tiga pilar negara lainnya, sehingga keputusan Pemerintah (yang sejatinya didukung oleh mayoritas warga negara Indonesia lainnya), muncul sebagai reaksi logis dan tepat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KH Said Aqil Siroj dan 14 Organisasi Islam Melarang Ikut Aksi 313 dan Tamasya Al-Maidah

KH Said Aqil Siroj menegaskan 14 Organisasi Islam yang tergabung dalam LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) melarang anggotanya ikut Aksi 313 di Istiqlal pada hari Jumat 31 Maret 2017. Alasan utama adalah NU sebagai Garda Terdepan Indonesia memandang aksi 313 sarat dengan kepentingan politik semata, hal ini berbahaya bagi Ukhuwah Wathoniyah (Kerukunan Berbangsa), bukan semata Aksi yang urgent dan penting untuk dilakukan. Secara tegas KH Said mengatakan bahwa urusan Pilkada ini tidak perlu bawa-bawa Agama, karena rentetan akan sangat panjang dan rawan ditunggangi kepentingan yang merugikan bagi Kebangsaan. “Jika Aksi ini membawa Allah berkampanye, apa yang akan terjadi jika ternyata yang mengatasnamakan Allah tadi kalah? Atau menang tapi akhirnya tidak amanah?” Hal ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan, oleh sebab itu secara tegas NU dan 13 Organisasi yang tergabung dalam LPOI secara tegas menolak Aksi 313. Selain menolak Aksi 313, Kiai Said juga menolak s...

Fenomena Kaum SCBD (Sesapian-Cingkrangan-Bumi Datar)

By Apriadi Rizal Jadi gini, SCBD yang ini bukanlah Sudirman Central Business District yaitu kawasan terkenal dan mewah ditengah jantung ibukota. SCBD disini adalah mereka yang sangat mengharubirukan dunia Indonesia. Mereka adalah kaum yang selalu komen nyinyir kepada pemerintah yang sedang sibuk membangun negeri.  Mereka jugalah yang setiap hari membuat keonaran dengan alasan agama. You know lah! Cikidap, cikidap youw. (Habis goyang dengan lagu hip-hop) Jujur saya sendiri kurang tahu jelasnya mengenai sejarah tentang frase sesapian, cingkrangan, dan kaum bumi datar. Kapan mulai malang melintang didunia permediaan Indonesia. Kalau ada pembaca atau penulis lain yang bisa merangkumnya, akan sangat keren sekali. Karena akan menjadi salah satu bacaan yang sangat berguna bagi sejarah bangsa ini. Kenapa berguna? Pastinya menjadi rujukan kepada siapa saja manusia yang ingin maju. Rujukan untuk apa? Pastinya rujukan u...

KOMITMEN JOKOWI BANGUN DAERAH PERBATASAN TEREALISASI, KERJA NYATA JOKOWI

Sejak resmi menjabat, Presiden Joko Widodo, bertekad, membangun Indonesia dari pinggiran. Maka pembangunan perbatasan pun jadi fokus perhatian. Tapal batas, harus jadi beranda depan negara, bukan lagi halaman belakang yang kumuh. Bahkan, wajah perbatasan harus lebih ‘cantik’ dan ‘kinclong’ dari perbatasan negara lain. Tidak hanya itu, dengan kian bagusnya infrastruktur sosial dan ekonomi, kehidupan warga di tapal batas bisa lebih baik lagi. Bahkan, perbatasan harus menggeliat, menjadi pusat pertumbuhan baru. Lalu seperti apa, capaian pembangunan di tapal batas? Sekretaris Utama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Hadi Prabowo, menegaskan, sudah banyak yang dilakukan pemerintah di perbatasan.  Terutama  menggenjot pembangunan infrastruktur yang terkait dengan  kebutuhan sosial dasar masyarakat. Banyak yang telah dihasilkan. “Kebutuan sosial dasar masyarakat di wilayah tapal batas negara, memang jadi fokus perhatian pemerintah. Pemenuhan kebutuhan dasar itu ...