Bagian Pertama…
Sungguh Iedul Fitr menjadi momen yang
menyenangkan bagi banyak orang. Di hari itu banyak tali silaturrahim
yang tersambung, banyak orang miskin yang tersantuni, dan banyak konflik
yang terselesaikan.
Menjadi berita besar yang cukup
mengejutkan ketika para “pentolan” GNPF meminta diadakan audiensi dengan
Presiden Joko Widodo 1 Syawal kemarin. Entah ada angin apa yang
menyebabkan para petinggi GNPF meminta diadakannya pertemuan dengan Joko
Widodo, tetapi dalam rangka Iedul Fitr ini saya menolak untuk
berprasangka buruk terhadap siapapun, mari kita berpositif thinking
secara nasional.
Sebelum memasuki inti pertemua tersebut, adanya pertemuan itu saja sudah menyiratkan banyak makna besar.
Pertama, membuktikan bahwa pemerintahan
Jokowi tidak pernah memusuhi “ulama” manapun, pintu istana terbuka lebar
bagi ulama manapun yang ingin menemui presiden. Bahkan di beberapa
daerah, Presiden sendiri yang “turun gunung” menemui para ulama.
Kedua, Jokowi merupakan presiden yang
mudah ditemui dan terbuka terhadap kritikan. Membuktikan bahwa tidak
ditemuinya peserta Aksi 411 oleh Presiden adalah murni karen
pertimbangan teknis, bukan karena Presiden “tidak mau menemui para
ulama” seperti yang diFITNAHkan oleh sebagian orang.
Ketiga, Tidak ada rasa permusuhan sama
sekali dari Presiden Jokowi terhadap para pimpinan pergerakan yang suka
tidak suka harus diakui telah mendorong pemerintahannya sampai ke titik
nadir. Bahkan para simpatisannya telah banyak memfitnah, mengancam, dan
menghina dirinya baik secara kelembagaan maupun secara personal. Jika
Presiden Jokowi memerintah seperti diktator sebagaimana yang difitnahkan
oleh sebahagian orang (lucunya disisi lain banyak diantara mereka
mereka mengagung-agungkan seorang diktator yang kita sama-sama tahu
siapa) jangankan menemui para koordinator unjuk rasa, orang-orang
tersebut masih bisa bebas bernafas diluar jeruji besi saja sudah hebat
sekali.
Keempat, berkomunikasilah dengan cara
baik-baik. Tidak usah main ancam “revolusi”, “gulingkan”, “Lengserkan”
seperti yang didengungkan beberapa kali oleh sebahagian oknum kubu GNPF.
Buat apa keras-keras seperti itu? tinggal minta ketemu, sampaikan apa
yang ingin disampaikan kepada Presiden sebagaimana orang yang memiliki
adab dan akal. Kalian fikir bagi Jokowi kekuasaan adalah segala-galanya
sehingga beliau takut dengan ancaman seperti itu? kalian salah besar.
Dengan jadi presiden, Jokowi tidak bertambah kaya, tidak
bermewah-mewahan, tidak memperkaya diri dan keluarga serta memperluas
jaringan bisnisnya, TIDAK sama sekali!
Kelima, mari hentikan gaduh-gaduh ini
sekarang juga dan duduk semeja demi kemajuan bangsa. Sudah muak dengan
golongan-golongan yang tidak ada kontribusinya bagi negara melainkan
hanya ribut-ribut dengan fitnah soal PKI, fitnah soal antek Tiongkok,
dan fitnah soal 9 naga dan membuat orang lain tidak merasa nyaman dan
membuat suasana panas dengan retorika “siap ganyang”, “siap mati”, “siap
perang”, “siap buat kerusuhan” dan lain-lain, dasar sampah. Apa yang
telah kamu perbuat untuk negara? berapa besar kalian bayar pajak? sudah
berapa lapangan kerja yang kalian ciptakan? nol besar? kalau begitu
dukung orang yang sedang berjuang atau diam.
Bagian kedua…
Para tokoh dari agama apapun dan siapapun
penceramah di Indonesia harus mulai sadar bahwa ekonomi bukanlah bidang
mereka, saya sering sekali mendengarkan khotbah-khotbah dan pengajian
yang membahas-bahas ekonomi seraya menjelek-jelekkan pemerintah. Mohon
maaf, soal agama kalian memang ahlinya, tapi soal pengetahuan ekonomi,
kalian sejajar dengan rakyat Indonesia kebanyakan, tidak istimewa.
Soal agama memang kalian ahlinya, tetapi
soal ekonomi, Sri Mulyani, Bambang Brodjonegoro, Darmin Nasution yang
telah diangkat Jokowi untuk menjadi mentri-mentri ribuan kali lipat
lebih faham dibandingkan kalian.
Pernah saya temui khotbah Jum’at di era
SBY. Sang khatib mengutuk habis-habisan pengurangan subsidi BBM dengan
mengatakan bahwa pemerintahan SBY telah zalim dan akan diberi ganjaran
oleh Allah. HELLOOOO??? Subsidi itu merusak pak, justru pemerintah yang
paling zalim dan paling tidak mau kerja adalah pemerintahan yang paling
mengumbar subsidi. Bapak tidak mengerti ekonomi jadi jangan bawa-bawa
nama Allah bersama ketidakmengertian bapak.
Secara kasatmata memang banyak kebijakan
pahit yang harus diambil oleh pemerintah demi tercapainya kemakmuran
yang berjangka panjang dan merata, sayangnya orang yang tidak mengerti
ekonomi akan mengutuki ditengah ketidaktahuannya karena dia hanya tahu
“pahit”nya saja, tanpa tahu manfaatnya. Obat adalah analogi yang sangat
tepat dalam ekonomi. Pahit = Obat, Manis = Penyakit.
Alhamdulillah pertemuan kemarin telah
membuka mata Bactiar Nasir dan kawan-kawan mengenai apa yang telah
dicapai oleh pemerintahan Jokowi.
“Ada yang suka dan tidak suka.
Bagaimana Presiden juga harus konsisten dalam program yang
dijalankannya. Presiden mengatakan saya harus berani mengambil risiko
itu,” kata Bachtiar setelah bertemu Jokowi di kompleks Istana
Kepresidenan, Jakarta, Minggu (25/6/2017).
Begitulah memimpin negara, selalu akan ada
yang suka dan ada yang tidak suka dengan kebijakan yang di ambil.
pertanyaannya, apakah dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan lebih
banyak mudharatnya atau manfaatnya? seorang presiden harus berani
mengambil resiko tersebut. apakah mencabut subsidi adalah pekerjaan
mudah? tentu tidak, Jokowi bisa menjadi sasaran fitnah dan hujatan.
tetapi langkah yang harus dilakukan tetap harus dilakukan, rakyat
kebanyakan tidak akan mengerti dan akan menganggapnya zalim. logika
mereka telah disesatkan oleh para politisi busuk dan orang-orang bodoh
yang tidak ingin negara ini dibenahi. Sekarang diam sejenak dan
berfikir, apa untungnya bagi Jokowi mengurangi subsidi diberbagai
sektor? bukankah citranya malah akan hancur? bukankah para pembenci
selalu menuduhnya pencitraan? kenapa tidak beliau tambah terus saja
subsidi agar semua-semua murah sehingga citranya terjaga? Subsidi adalah
pencitraan sesungguhnya dan Presiden Jokowi berani mengakhiri itu
pelan-pelan walaupun dirinya dan citra pribadinya jadi korbannya.
“Yang kami juga luar biasa
mendapatkannya adalah keberpihakan beliau pada ekonomi kerakyatan atau
ekonomi keumatan. Kami dengar, alhamdulillah, ada will yang
cukup bagus. Sampai yang sama-sama pernah kita dengar bagaimana sekian
belas juta hektare tanah diperuntukkan buat rakyat,” Lanjut Bachtiar
ya, di pernyataan ini Bactiar akhirnya
sadar dan menyebutkan salah satu contoh kebijakan Jokowi yang sangat pro
umat, yang tidak pernah terfikirkan oleh pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya. Bachtiar mengakui bahwa Jokowi berpihak pada ekonomi
keumatan/kerakyatan. Beliau tidak ingin rakyatnya manja dengan subsidi
konsumtif seperti BBM dan TDL, yang disubsidi oleh Jokowi adalah, pupuk,
solar, kesehatan, pendidikan dan pembangunan yang merata sehingga
rakyat mendapatkan “equal oportunity” atau kesempatan yang setara
sehingga memiliki daya saing yang bisa diandalkan.
Kebijakan yang disebutkan Bactiar juga
mementahkan apa yang difitnahkan oleh sebagian orang yang mengatakan
kebijakan Jokowi Neolib. Tidak ada satupun teori liberalisme ekonomi
yang menganjurkan pembagian tanah dan sertifikat tanah bagi rakyat,
tidak ada.
Tapi yah namanya juga fitnah, kalau nggak goblok yah bukan fitnah namanya, jadi kritik.
Mereka fitnah Jokowi komunis tapi fitnah juga liberalis.
Mereka fitnah Jokowi antek Amerika sekaligus fitnah sebagai antek Tiongkok.
Mereka fitnah Jokowi PKI tapi memfitnah dia pro pengusaha 9 naga.
mereka fitnah sebagai rezim anti Islam
karena kriminalisasi ulama, padahal ulamanya pernah masuk penjara 2 kali
di rezim sebelum Jokowi.
Mereka fitnah pencitraan kepada orang yang mencabut subsidi.
hal-hal diatas sama gobloknya dengan
mengatakan “baju ini kering total sekaligus basah kuyup”. tapi yah
sudahlah, biar mereka taubat sendiri atau menunggu azab Tuhan datang
pada mereka. Junjungannya sudah sadar seharusnya pemujanya juga pada
sadar sih, mudah-mudahan.
Komentar
Posting Komentar